JAKARTA. Gencarnya penerbitan surat utang negara (SUN) di awal tahun, tidak menggerus harga obligasi negara. Maklum, pasokan surat utang yang melimpah juga diimbangi tingginya permintaan para investor. Mengacu situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 12 Januari 2016, pemerintah sudah meluncurkan obligasi sebesar Rp 79,48 triliun atau sekitar 14,64% dari target yang dipatok yakni Rp 542,57 triliun. Ini untuk pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Rinciannya, USD bonds Rp 48,48 triliun, private placement sukuk Rp 1 triliun, sukuk Rp 4 triliun, private placement SUN Rp 14 triliun, SUN seri fixed rate (FR) Rp 9,25 triliun, serta SUN seri Surat Perbendaharaan Negara (SPN) Rp 2,75 triliun.
Jika dibandingkan tahun lalu, jumlah tersebut serupa dengan penerbitan obligasi negara dari awal tahun 2015 hingga 16 Januari 2015, sebesar Rp 72,24 triliun atau sekitar 16,77% dari target keseluruhan, yang kala itu dipatok Rp 430,66 triliun. Ariawan, Analis Sucorinvest Central Gani, menjelaskan, di awal tahun 2016, pemerintah memang menerapkan strategi front loading. Kendati demikian, ia optimistis pasokan obligasi negara yang berlimpah tak akan menekan harga SUN di awal tahun. Lihat saja, rata-rata harga obligasi pemerintah yang tercermin pada INDOBeX Government Clean Price secara year to date per 15 Januari 2016 yang tumbuh 1,38% ke level 106,19. Tingginya suplai obligasi negara turut diimbangi dengan besarnya permintaan pelaku pasar di awal tahun 2016. "Cash investor di awal tahun masih banyak. Mereka juga membutuhkan obligasi negara ke portofolio mereka untuk mencapai target investasi tahun ini," jelasnya. Apalagi pemerintah sudah beberapa tahun menerapkan strategi front loading. Sehingga, situasi ini bukan hal baru bagi pelaku pasar. Senada, Analis PT Capital Asset Management Desmon Silitonga memaparkan, besarnya peluncuran obligasi negara saat permulaan tahun tidak akan menyeret harga SUN karena kebutuhan investor juga tinggi. "Justru efeknya ke obligasi korporasi. Emiten harus memberikan kupon yang lebih menarik untuk menjaring investor," tuturnya. Efek BI rate Desmon berpendapat, kenaikan harga SUN di awal tahun juga dipicu oleh pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI rate sebesar 25 bps menjadi 7,25%, Kamis (14/1). Apalagi cukup banyak seri SUN yang harganya di bawah par 100. Hal ini mendorong capital inflow ke pasar, sebab investor mengincar kenaikan harga kala surat utang jatuh tempo. Ariawan sepakat, harga SUN masih berpotensi menggemuk. Sebab, masih ada peluang bagi BI memotong suku bunga. Apalagi besaran yield SUN terbilang menarik bagi investor. Mengacu AsianBondsOnline per 15 Januari 2016, yield obligasi negara Indonesia bertenor 10 tahun sekitar 8,54%. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang yield obligasi negara Malaysia 4,19%, Filipina 4,41%, Thailand 2,51%, dan Vietnam 7,05%. Potensi tambahan permintaan juga bakal bersumber dari industri perbankan.
Sebab, laju pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam negeri lebih kencang ketimbang penyaluran kredit. Desmon yakin, harga SUN masih berpeluang menanjak. Asalkan nilai tukar rupiah tetap terjaga. Apalagi pemerintah juga menetapkan target inflasi tahun 2016 yang cukup rendah, yakni 3%-5%. Namun masih ada tantangan pasar obligasi, terutama dari eksternal. Maklum, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed berencana mengerek suku bunga acuan secara bertahap tahun ini. Tekanan juga datang dari perlambatan perekonomian Tiongkok. Desmon menilai, pada kuartal I-2016, yield SUN seri acuan bertenor 11 tahun FR0056 akan berkisar 8,2%-8,4%. Senada, Ariawan menerawang, yield SUN FR0056 bakal bergerak di 8,3%-8,4% pada triwulan pertama 2016. Pada Jumat (15/1), yield SUN seri FR0056 tercatat di level 8,48%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie