Pasar batubara yang lesu sejak beberapa tahun terakhir berimbas besar pada kinerja emiten batubara. Di tengah prospek yang masih suram, beberapa emiten justru royal membagi dividen kepada para pemegang saham. Menarikkah tawaran dividen emiten-emiten yang tengah lesu darah itu? Ibarat kumparan roda, para pelaku bisnis batubara kini boleh dibilang tengah berada di bawah. Belum ada tanda-tanda kebangkitan komoditas yang sempat memuncak harganya pada 2011 silam itu. Meletusnya tragedi nuklir Fukushima pada 2011 menjadi pemicu booming harga batubara. Tengok saja banderol harga batubara di bursa Newcastle, Australia, yang menjadi salah satu patokan harga batubara di regional Asia. Ketika itu kisaran harga batubara Newcastle melejit hingga kisaran US$ 130 per ton. Namun, memasuki tahun 2012 hingga kuartal II–2013 ini, banderol batubara melorot ke level US$ 85–US$ 100-an per ton.
Riset Deutsche Bank seperti dikutip Reuters awal Mei lalu menyebutkan, pasar batubara masih akan kelebihan pasokan sepanjang dekade ini. Penyebabnya, peningkatan produksi batubara tidak diimbangi oleh derasnya permintaan. Permintaan batubara dari kantong-kantong demand kunci, yaitu negara-negara Amerika Utara, Eropa, juga China, melambat. Ekspor batubara Amerika Serikat (AS) meningkat diiringi makin melejitnya pamor gas sebagai sumber energi. Rencana China Di Eropa dan China, isu efisiensi energi dan pengurangan polusi udara akibat penggunaan batubara diprediksi terus kencang. Dus, prospek permintaan batubara di sana turut redup. Deutsche memprediksi hingga 2015 nanti, banderol batubara terhenti di level US$ 95 per ton, lalu naik ke US$ 101 per ton pada 2020. Tak cukup sampai di situ, bisnis batubara kembali digelayuti sentimen negatif. Kali ini datang dari China. Pemerintah negeri berpopulasi terbesar di dunia itu berniat membatasi impor batubara berkadar di bawah 4.500 kilokalori per kilogram (kkal/kg) standar nett-as-received (NAR). Angka itu setara dengan 4.800–5.000 kkal/kg dalam basis GAR alias gross-as-received. Pebisnis batubara di Indonesia biasanya memakai basis GAR. Situs penyedia informasi pasar energi dan komoditas dunia, IHS McCloskey, membeberkan, Biro Administrasi Energi Nasional China telah menyiapkan draf aturan pembatasan impor batubara. Rencana Pemerintah China itu, di mata analis, sejalan dengan komitmen besar pemerintah Negeri Panda itu untuk mengurangi emisi karbon dan melindungi industri batubara dalam negeri. Kapan aturan itu berlaku memang belum ada kejelasan. Namun, kabar itu sontak menjadi sentimen negatif bagi industri batubara nasional. Analis Mandiri Sekuritas Herman Koeswanto membeberkan, saat ini 20% total ekspor batubara Indonesia berkalori di bawah 4.800 kkal versi GAR. Dus, regulasi China itu jika benar berlaku akan menjadi pukulan bagi industri batubara nasional. Tahun 2012, total produksi batubara Indonesia mencapai 386 juta ton. Nilai yang diekspor mencapai 304 juta ton. Sebanyak 30% dikirim ke China atau sekitar 90 juta ton. Nah, yang menarik, di tengah prospek industri batubara yang suram tersebut, beberapa emiten batubara justru kompak membagi dividen kepada para pemegang sahamnya. Menjadi wajar jika langkah beberapa emiten itu menggelitik tanya: Sebegitu dermawankah para emiten itu hingga tetap membagi dividen ketika performa menurun dan prospek suram? Atau, sekadar ingin menghibur para pemegang saham yang mungkin telah merasakan imbas dari keloyoan harga saham mereka? Analis AM Capital Janson Nasrial menilai, aksi emiten batubara yang rajin menebar dividen di tengah buruknya prospek harga batubara, sah-sah saja. “Tujuan utama perusahaan yang go public itu, kan, untuk membuat pemegang sahamnya happy, dan itu diberikan berupa keuntungan, apakah disebut dividen atau capital gain karena kinerja,” kata dia. Tapi, bukankah lebih baik digunakan untuk belanja modal alias capital expenditure agar kinerja tidak semakin loyo? Para analis berpendapat, memanfaatkan dana kas untuk capex di tengah prospek bisnis nan suram bisa-bisa malah mubazir. “Buat apa memasang capex tinggi saat bisnis sepi, nanti malah menambah beban,” ujar Janson. Analis Panin Sekuritas Fajar Indra berujar senada. “Mereka mau bangun infrastruktur atau ekspansi pasti juga bingung, lantaran bisnisnya sedang kurang bagus,” katanya. Meski begitu, para pemburu dividen saham batubara ada baiknya cermat menyiapkan strategi. Pasalnya, prospek sektor ini di mata analis masih terlalu suram setidaknya hingga sembilan bulan mendatang. “Pilih yang dividend yield-nya tinggi, di atas 3%,” saran Fajar. Adapun, Janson tidak merekomendasikan pemodal untuk masuk ke sektor ini kendati ada iming-iming dividen. “Lebih baik memburu peluang untung di saham sektor lain yang prospeknya lebih cerah,” kata dia. Ketimbang bingung menentukan langkah investasi, mari kita simak lebih terperinci tawaran dividen dari emiten-emiten batubara berikut ini:
ADRO Perusahaan batubara ini akan membagikan sisa dividen tunai, bulan depan. Total dividen yang dibagi ADRO mencapai 30,38% dari laba bersih tahun 2012 yang sebesar US$ 385,35 juta. Angka itu setara US$ 117,07 juta. Sebesar US$ 76,77 juta sudah dibayarkan pada 12 Juni 2012 dan 15 Januari 2013 sebagai dividen tunai interim. Nah, sisanya, sebesar US$ 40,3 juta akan dibagikan Juni nanti. Berarti setiap saham akan menerima US$ 0,00126. Adaro mengumumkan, cum date di pasar reguler dan negosiasi digelar pada 29 Mei 2013. Sedangkan, cum date di pasar tunai ditentukan 3 Juni 2013. Anda yang tertarik memburu dividen ADRO perlu mencatat tanggal cum date dividen. Pasalnya, dividen hanya diberikan oleh emiten bagi investor yang memegang saham ADRO di tanggal tersebut. Lantas, berapa besar dividend yield ADRO? Mari kita hitung. Dividend yield secara sederhana bisa kita peroleh dari pembagian nilai dividen tahunan per saham dibagi harga saham saat ini. Jika memakai asumsi kurs tengah Bank Indonesia terakhir, harga dollar AS setara Rp 9.765, maka besar dividen ADRO adalah Rp 12,3 per saham. Rabu (22/5), saham ADRO ditutup di level Rp 1.110, sehingga dividend yield ADRO hanya 1,1%. Angka itu terbilang minim, ditambah lagi kinerja ADRO yang diperkirakan akan goyah jika kebijakan pembatasan impor China benar-benar diberlakukan. Mengingat selama ini ADRO banyak bergantung pada penjualan batubara berkalori rendah ke China. Dus, apa masih menarik memburunya untuk alasan dividen? “Jauhi dulu saham batubara,” tegas Janson. ADRO selama ini banyak menggantungkan penjualan dari segmen batubara berkalori rendah. “Jika China jadi membatasi impor, ADRO termasuk emiten yang terkena imbas,” catat Herman. Pada kuartal I–2013 lalu, laba bersih perusahaan yang dipimpin Garibaldi Thohir ini hanya US$ 41 juta, anjlok 66,5% ketimbang laba bersih kuartal I–2012 sebesar US$ 121 juta. Sejatinya, manajemen Adaro menempuh langkah efisiensi untuk merampingkan biaya, yaitu melalui pengembangan sistem overburden out of pit crushing and conveying system (OPCC). Sistem itu diharap bisa menghemat biaya penambangan dalam proses pembuangan lapisan tanah. Tapi, melemahnya harga rata-rata penjualan atau average selling price (ASP), dari US$ 81,42 per ton menjadi US$ 65,95 per ton, jadi penyebab penurunan kinerja. Dus, kendati volume penjualan stabil di kisaran 11,23 juta ton, pendapatan Adaro susut 19,1% jadi US$ 741 juta. “Kurangi saham ADRO,” saran Jennifer F. Yapply, analis Bahana Securities.
HRUM PT Harum Energy Tbk (HRUM) termasuk salah satu emiten yang cukup rajin membagi dividen. Padahal, laba bersih mereka tahun lalu turun 20,2% menjadi US$ 131, 61 juta. “Untuk mempraktikkan good corporate governance dan menimbang kebutuhanbelanja modal, kami putuskan membagi dividen,” kata Alexandra Mira, Sekretaris Perusahaan Harum Energy, kepada KONTAN. Harum akan membagikan 53% bagian laba bersih tahun lalu atau US$ 69,74 juta, sekitar Rp 676 miliar. Jumlah ini setara dengan Rp 252 per saham. Harga HRUM ditutup di level Rp 4.275 per saham, Rabu (22/5), sehingga dividend yield emiten ini mencapai 5,89%. Jika Anda tertarik menubruk dividen HRUM, catat saja cum date dividennya. Cum date HRUM di pasar reguler dan negosiasi adalah pada 14 Juni nanti, sedang di pasar tunai pada 19 Juni 2013. Di mata Fajar, tawaran HRUM menarik jika menimbang besar dividend yield. Namun, ada baiknya Anda tetap mencermati prospek perusahaan dengan melihat kondisi fundamental perseroan. Tengok saja kinerja Harum pada kuartal I–2013 di mana laba bersih mereka anjlok 84,5% menjadi US$ 7 juta dari pencapaian US$ 45 juta pada kuartal I–2012. Anjloknya harga jual batubara memukul kinerja Harum. Nilai penjualan batubara Harum hanya US$ 224 juta atau turun 21,7% dibandingkan tahun lalu akibat harga jual batubara melemah 25,1% menjadi US$ 68 per ton. Padahal, volume produksi mereka relatif stabil, yaitu di kisaran 3,6 juta ton. Fajar mencatat, Harum melempar sinyal akan melanjutkan pembelian batubara dari pihak ketiga setidaknya hingga dua tahun mendatang untuk keperluan blending. Hal itu sangat berisiko karena marjin Harum atas biaya pembelian cukup tipis. “Biaya pembelian batubara untuk keperluan ini juga besar mencapai 28%–30% dari total COGS,” papar Fajar. COGS adalah cost of goods sold. Alhasil, kendati menawarkan dividend yield nan cantik, dia merekomendasikan jual HRUM dengan target harga Rp 3.900 per saham. Prediksi Fajar, Harum akan melanjutkan penurunan pendapatan dan laba bersih pada tahun ini, masing-masing menjadi US$ 982 juta dan US$ 114 juta. INDY Emiten batubara ini memutuskan membagi dividen senilai US$ 19 juta atau setara US$ 0,003647 per saham. Itulah hasil rapat umum pemegang saham tahunan Indika Energy yang digelar pada 15 Mei 2013 lalu. Porsi dividen diambil dari perolehan laba bersih perseroan tahun lalu yang mencapai US$ 68,68 juta. Jadwal pembagian dividen INDY belum pasti hingga kini. “Dividen akan kami bagikan, namun jadwal pasti masih menunggu hasil keputusan direksi,” ujar Anto Broto, Hubungan Investor Indika Energy. Harga saham INDY terakhir ditutup di level Rp 1.070 per saham, Rabu (22/5). Memakai acuan kurs tengah BI sebesar Rp 9.765, maka dividen yang dibagi emiten ini setara Rp 35,61 per saham. Dengan begitu, dividend yield INDY sekitar 3,32%. Herman menilai, dari sisi prospek, perseroan ini berisiko menderita imbas negatif jika China memberlakukan pembatasan impor batubara. “INDY bersama ADRO, ABMM, dan KKGI akan terimbas paling besar karena mereka ini kelompok eksportir batubara berkalori rendah dengan sasaran pasar terbesar ke China,” papar
Herman. Dengan kata lain, sentimen negatif INDY bertambah. Pasalnya, kinerja emiten batubara ini tidak menggembirakan. Pada kuartal I–2013 lalu, laba bersih Indika terjun bebas 82% dari sebesar US$ 50,26 juta menjadi US$ 9,15 juta. Catatan itu melanjutkan kinerja nan loyo pada tahun lalu. Ketika itu, perolehan laba bersih Indika juga turun 46,2% menjadi US$ 68,8 juta. Analis Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe berpendapat, agar tidak makin terpuruk akibat langkah China, Indika perlu untuk membuka lebih luas pasar lain, termasuk pasar domestik yang butuh batubara cukup banyak. Kendati menawarkan dividen, Kiswoyo malah merekomendasikan jual saham INDY. “Harga wajar INDY adalah Rp 850 per saham,” dalihnya. Nah, setelah menimbang besar tawaran dividen dan prospek perusahaan-perusahaan batubara mendatang, kini keputusan ada di tangan Anda.
o Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ruisa Khoiriyah