KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Meta Platforms Inc mengumumkan sedang mencari proposal dari pengembang tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi kecerdasan buatan (AI) dan target lingkungan mereka. Langkah ini menjadikan Meta sebagai perusahaan teknologi besar terbaru yang beralih ke tenaga nuklir di tengah meningkatnya permintaan listrik. Dalam rilis resmi, Meta menyatakan rencananya untuk menambah kapasitas pembangkit nuklir baru di AS sebesar 1 hingga 4 gigawatt pada awal 2030-an. Sebagai perbandingan, pembangkit nuklir di AS umumnya memiliki kapasitas sekitar 1 gigawatt.
Baca Juga: Amerika Tertinggal 15 Tahun Ketimbang China Soal Tenaga Nuklir “Di Meta, kami percaya energi nuklir akan memainkan peran penting dalam transisi ke jaringan listrik yang lebih bersih, lebih andal, dan beragam,” demikian pernyataan perusahaan tersebut. Goldman Sachs memperkirakan pemakaian energi pusat data di AS akan meningkat tiga kali lipat antara 2023 dan 2030, yang setara dengan tambahan kebutuhan kapasitas pembangkitan sebesar 47 gigawatt. Namun, memenuhi lonjakan ini dengan reaktor nuklir bukan tanpa tantangan. Prosesnya menghadapi hambatan seperti beban regulasi Komisi Pengaturan Nuklir AS, potensi kekurangan pasokan bahan bakar uranium, dan penolakan dari masyarakat lokal. Sebelumnya, Microsoft dan Constellation Energy pada September lalu menandatangani kesepakatan untuk memulai kembali unit di pabrik Three Mile Island di Pennsylvania, yang akan menjadi fasilitas bertenaga nuklir pertama untuk pusat data.
Baca Juga: Rusia Menawarkan Diri Bantu Vietnam Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pada Maret, Amazon.com juga mengumumkan pembelian pusat data bertenaga nuklir dari Talen Energy (TLN.O). Meta menyatakan akan mempertimbangkan reaktor modular kecil (SMR), yang saat ini masih dalam tahap pengembangan, atau reaktor nuklir konvensional yang menyerupai armada pembangkit nuklir AS yang ada. Perusahaan juga mencari pengembang dengan keahlian dalam pengembangan komunitas, proses perizinan, dan pembangunan fasilitas. Meta membuka pengajuan proposal hingga 7 Februari 2025. Perusahaan menjelaskan bahwa pendekatan melalui permintaan proposal (RFP) dipilih karena proyek nuklir memerlukan investasi besar, waktu pengembangan lebih lama, dan memenuhi lebih banyak persyaratan regulasi dibandingkan proyek energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin.
Baca Juga: Peneliti AS Temukan Kemungkinan Lokasi Peluncuran Rudal Tenaga Nuklir Baru Rusia “Proses RFP akan memungkinkan kami untuk mendekati proyek-proyek ini secara menyeluruh dan cermat dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut,” jelas Meta.
Editor: Noverius Laoli