Air yang tenang dan terlihat terkendali, biasanya, di bawahnya penuh dengan cekungan dan pusaran kuat yang mematikan. Ilustrasi tersebut, kurang lebih, sangat baik menggambarkan inovasi teknologi yang terjadi belakangan ini. Setidaknya, inovasi teknologi membawa dua pengaruh negatif bagi industri. Pertama, teknologi memungkinkan proses mekanisasi yang dapat menggantikan jenis pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah (low-skill jobs). Pilihan terbaik bagi mereka yang terancam proses mekanisasi ini adalah dengan melakukan perbaikan diri (upgrading) atau berpindah industri. Kedua, dan yang lebih serius, inovasi teknologi yang ada saat ini sebenarnya telah menjadi pijakan bagi inovasi teknologi yang lebih canggih, menciptakan proses akselerasi inovasi berbasis teknologi yang semakin jauh dan cepat. Akibatnya, gap antara inovasi teknologi dan ketidaksetaraan sosial (inequality) akan selalu ada.
Gagasan antara inovasi teknologi dan ketidaksetaraan sesungguhnya bukanlah hal yang benar-benar baru. Daron Acemoglu, ekonom Massachusetts Institute of Technology (MIT), pernah menyebutkan adanya pergeseran di pasar tenaga kerja di Inggris pada abad ke-19 dan ke-20 gara-gara ada inovasi teknologi. Sebelumnya, inovasi teknologi dianggap sebagai variabel eksogen di luar kendali sistem. Perkembangan sains dan aktivitas kewirausahaan dipandang terjadi di luar ruang lingkup teori ekonomi tradisional. Kenyataannya, inovasi teknologi adalah variabel endogen di dalam sistem yang menjadi motivasi perusahaan dalam mencari laba. Latar belakang inilah yang melandasi perusahaan untuk mencari teknologi yang dapat melengkapi keterampilan pekerjanya guna memotong biaya dan meningkatkan efisiensi proses produksi. Sejak itu, perusahaan mendorong inovasi guna menyediakan teknologi pelengkap yang dapat menunjang produktivitas. Inovasi teknologi berjalan beriringan dengan kebutuhan akan pekerja berketerampilan tinggi untuk mengoperasikan teknologi itu. Pertanyaannya kemudian, apa yang akan terjadi dengan pekerja berketerampilan rendah? Begawan ekonomi John Maynard Keynes pernah mencetuskan gagasan tentang age of leisure yang membebaskan manusia dari proses produksi dan distribusi. Dengan demikian, kita dapat melakukan apapun yang kita inginkan dan menikmati hidup. Tentu, ini sangat didasarkan pada asumsi yang sulit dipenuhi: keuntungan yang diperoleh dari inovasi harus didistribusikan kembali secara merata ke masyarakat. Tapi, pemilik modal tentu ingin imbalan tinggi. Selain itu, suatu sistem perekonomian tetap membutuhkan kegiatan konsumsi agar dapat terus berputar. Jadi, ramalan Keynes mustahil terwujud. Kelebihan dan kelangkaan Tentu saja, tidak semua jenis pekerjaan akan digantikan oleh mesin dan teknologi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas tinggi dan interaksi dengan sesama manusia masih belum mampu digantikan robot. Mesin belum mampu menulis sekelas Pulitzer atau memotret foto sekaliber National Geographic. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, pekerja manusia masih lebih murah dipekerjakan dan memiliki keunggulan kognitif. Walaupun begitu, tidak serta-merta pekerjaan keterampilan tinggi lantas aman dari inovasi teknologi. Paul Krugman adalah salah satu ekonom yang cukup vokal tentang hal ini. Algoritma telah menunjukkan kapasitasnya dalam menganalisis dokumen hukum dengan lebih baik daripada pengacara berpengalaman. Algoritma juga mampu membuat desain chip yang lebih efisien dibandingkan dengan karya insinyur. Selain pada pasar tenaga kerja, lubang lebih besar yang menganga lebar sebagai akibat dari inovasi teknologi ada pada teorema sosial dan diskursus publik yang masih bersandar ke paradigma lama. Di masa lalu, kita terjebak pada masalah kelangkaan (scarcity) dan menjadikannya sebagai referensi dalam mengajukan proposisi atau menyusun kebijakan publik. Inovasi teknologi, telah berhasil mengatasi masalah kelangkaan tersebut. Eksternalitas jejaring yang dibawa oleh produk teknologi justru menimbulkan masalah baru: kelebihan (excess). Sulit untuk mengelak bahwa masalah kemacetan lalu-lintas, sampah dan polusi udara, hoaks, hingga obesitas sesungguhnya adalah dampak inovasi teknologi yang serba berkelebihan. Kelebihan sebagai problematika yang dihadapi manusia modern sesungguhnya sangat familier dan mudah dijumpai. Terlalu banyak teman di jejaring media sosial, terlalu banyak berita dan informasi untuk dibaca, buku dan film untuk disimak, janji serta komitmen, dan segudang masalah kelebihan lainnya. Proses kelebihan ini sejatinya lumrah. Manusia secara naluriah bertumbuh menurut deret geometrik, sementara mesin dan teknologi bertumbuh menurut deret aritmetik. Cepat atau lambat, masalah kekurangan akan segera digeser masalah kelebihan. Barangkali selama ini kita terlalu terbiasa dengan konsep kelangkaan karena mekanismenya yang sederhana. Proses produksi membutuhkan sejumlah input dan sumberdaya yang terbatas jumlahnya. Tanpa adanya kecukupan material, proses produksi tidak akan bisa berjalan. Harga kemudian menjadi faktor penentu yang krusial. Dalam konsep kelebihan, kebutuhan material tidak lagi menjadi masalah. Kelebihan menjadi masalah koordinasi untuk memilih kombinasi input yang memadai. Dalam paradigma kelebihan, proses pengambilan keputusan menjadi jauh lebih kompleks dibandingkan pengambilan keputusan paradigma kelangkaan karena harus mempertimbangkan subjektivitas, nilai yang dianut, dan pola habituasi. Celakanya, teorema sosial dan diskusi publik yang mengemuka selama ini masih berkutat pada masalah kelangkaan, seperti keterbatasan anggaran (budget constraints), pengorbanan pilihan (tradeoff), dan pemiskinan struktural (impoverishment). Padahal, seperti yang dinyatakan Andrew Abbott, sosiolog dari Universitas Chicago, problem sentral yang dihadapi oleh kehidupan sosial manusia modern sebenarnya bukan pada kelangkaan (having too little of something), melainkan pada kelebihan (having too much of it), dan masalah itu bisa terjadi di tataran individu (kegemukan) maupun sosial (kemacetan).
Dalam konsep zero-sum-game, kelebihan satu sisi dapat menjadi kekurangan sisi lain. Inovasi berbasis teknologi, idealnya, harus dapat membantu proses distribusi dan alokasi sumberdaya sehingga semua pihak dapat tercukupi kebutuhannya. Tapi, kodrat teknologi akan selalu menciptakan ketidaksetaraan. Dus, intervensi kita mutlak diperlukan agar arah pengembangan inovasi teknologi tidak semata didorong oleh motif mencari laba. Tapi digerakkan untuk menjembatani kesenjangan yang bisa meningkatkan taraf hidup kita sebagai manusia. Nah, kondisi ini tidak akan terwujud selama pola pikir kita masih terbelenggu pada masalah kelangkaan, belum mempertimbangkan aspek kelebihan.•
Nofie Iman Pengajar di Departemen Manajemen FEB UGM Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi