MI berlindung di SUN tenor pendek



JAKARTA. Tekanan di pasar obligasi mendorong manajer investasi semakin kreatif memutar portofolio. Obligasi bertenor pendek dan menengah menjadi pilihan bagi manajer investasi di tengah kondisi saat ini.

Yudi Rangkuti, Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia, mengatakan, tren suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate tinggi mengakibatkan pasar obligasi tertekan. Agar kerugian tidak terlalu dalam, pihaknya memperbesar alokasi surat utang negara (SUN) jangka pendek dan menengah.

Instrumen ini lebih rendah fluktuasinya ketimbang obligasi tenor panjang. Kenaikan BI rate ikut mengerek imbal hasil dan menurunkan harga obligasi. Di tengah kondisi ini, kenaikan imbal hasil untuk tenor pendek cenderung lebih kecil daripada tenor panjang.


Namun sebaliknya, apabila pasar obligasi bullish, tenor panjang bakal mengalami penurunan imbal hasil lebih dalam dibandingkan tenor pendek. "Sekarang kami masuk ke seri-seri bertenor pendek defensif. Kami masuk ke SUN dengan rata-rata tenor 7 tahun hingga 9 tahun," kata Yudi, baru-baru ini.

Yudi mengatakan, pihaknya memperbesar porsi SUN karena likuditasnya yang tinggi dibandingkan obligasi korporasi. Porsi obligasi pemerintah sekitar 70% dan obligasi korporasi sekitar 30%.

Dampak kenaikan inflasi dan BI rate ini diperkirakan hanya berlangsung sementara. Yudi menduga, laju inflasi paling tinggi akan terjadi di bulan Juli dan kemudian akan kembali turun. "Karena itu, kami tidak terlalu agresif dan masih wait and see melihat inflasi nanti. Kalau inflasi masih sesuai ekspektasi pasar, maka pasar obligasi tidak akan tertekan terlalu dalam," ujar Yudi.

Dia memperkirakan, laju inflasi tahun ini bisa sekitar 7% hingga 8% dan turun di tahun depan menjadi di kisaran 4,5%. "Dengan demikian, tren BI rate akan kembali turun di 2014," kata Yudi.

Head of Research PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI), Yusuf Ade Winoto mengatakan, pihaknya juga memperpendek durasi obligasi yang menjadi portofolio, seiring kenaikan imbal hasil di pasar obligasi. Adapun tenor obligasi yang menjadi pilihan sekitar 3 tahun hingga 5 tahun.

Yusuf mengatakan, pihaknya tidak banyak melakukan rebalancing untuk reksadana terproteksi, karena return-nya sudah dikunci hingga jatuh tempo. "Sebagian besar kami lakukan rebalancing untuk reksadana pendapatan tetap," kata Yusuf.

Yusuf menambahkan, untuk obligasi korporasi, pihaknya memprioritaskan pada obligasi yang memiliki imbal hasil yang menarik, kupon tinggi, berperingkat minimal A dengan likuditas yang tebal. Untuk instrumen ini, pihaknya juga memilih tenor pendek dan menengah sekitar 3 tahun hingga 5 tahun. "Untuk obligasi korporasi, tidak kami trading-kan karena pasarnya tidak likuid," ujar Yusuf.

Analis Infovesta Utama Viliawati mengatakan hal senada. Menurut dia, imbas kenaikan BI rate ditambah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) mengakibatkan kenaikan yield terutama obligasi pemerintah untuk tenor panjang. "Sehingga untuk mengurangi dampak negatif dari penurunan harga obligasi, manajer investasi umumnya akan memilih obligasi dengan tenor pendek atau obligasi korporasi," kata Vilia.

Vilia menduga, para manajer investasi juga akan memilih obligasi korporasi berdurasi pendek. Langkah itu dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi penurunan harga obligasi akibat kenaikan suku bunga dan potensi inflasi yang masih tinggi beberapa bulan mendatang. "Faktor likuiditas transaksi dan fundamental emiten obligasi juga perlu dipertimbangkan oleh manajer investasi," tambah Vilia.

Naiknya BI rate diperkirakan akan mempengaruhi kinerja reksadana pendapatan tetap. Imbal hasil produk reksadana dengan mayoritas aset dasar obligasi itu diduga terancam menyusut akibat harga obligasi yang tertekan. Vilia memperkirakan, rata-rata return reksadana pendapatan tetap tahun ini sekitar 5% hingga 7%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati