KONTAN.CO.ID - Sepanjang 2022, Wall Street berulang kali telah memperingatkan investor bahwa resesi bisa saja terjadi. Dari CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon, mantan pejabat Federal Reserve, hingga para pemikir ekonomi top dunia secara serempak menunjuk akan kemungkinan terjadinya badai hambatan yang dihadapi ekonomi global dan menyatakan kekhawatiran tentang potensi penurunan yang serius. Melansir
Fortune, di AS, konsumen bergulat dengan inflasi yang melonjak ke level tertinggi dalam hampir 40 tahun dan kenaikan suku bunga. Sementara dunia berjuang untuk mengatasi perang di Ukraina, krisis energi Eropa, kebijakan nol COVID China, dan banyak lagi.
Dan bahkan setelah penurunan lebih dari 21% di S&P 500 tahun ini, para pemikir terbaik Wall Street masih berpikir bahwa saham akan terus jatuh. "Yang terburuk belum datang," jelas Carl Icahn, yang menjabat sebagai ketua Icahn Enterprises dan memiliki kekayaan bersih US$ 23 miliar kepada
MarketWatch. Nama Icahn dikenal sebagai perampok perusahaan di Wall Street pada 1980-an. Dia membeli perusahaan yang tidak dicintai dan secara agresif mengadvokasi perubahan untuk meningkatkan nilai pemegang saham dengan menunjuk anggota dewan, menjual aset, atau memecat karyawan. Bahkan pada usia 86 tahun, Icahn tetap menjadi salah satu pemikir paling dihormati di Wall Street. Tahun ini, dia telah berulang kali memperingatkan ekonomi AS dan pasar saham sedang dalam masalah.
Baca Juga: Ini Ramalan Skenario Terburuk Ekonomi Global ala Nouriel Roubini Icahn berpendapat, Federal Reserve mendorong harga aset ke tingkat yang tidak berkelanjutan di tengah pandemi menggunakan suku bunga mendekati nol dan pelonggaran kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan kebijakan di mana bank sentral membeli sekuritas yang didukung hipotek dan obligasi pemerintah dengan harapan memacu pinjaman dan investasi. "Kita mencetak terlalu banyak uang, dan hanya berpikir pesta tidak akan pernah berakhir," katanya. Dia menambahkan bahwa dengan perubahan sikap The Fed dan menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, dia sekarang meyakini pesta sudah berakhir. Dampak dari kebijakan moneter longgar The Fed, menurut Icahn, adalah inflasi yang sangat tinggi, yang naik 8,3% dari tahun lalu di bulan Agustus. “Inflasi adalah hal yang mengerikan. Anda tidak dapat menyembuhkannya,” kata Icahn. Dia mencatat bahwa kenaikan inflasi adalah salah satu faktor kunci yang menjatuhkan Kekaisaran Romawi. Roma terkenal mengalami hiperinflasi setelah serangkaian kaisar menurunkan kandungan perak mata uang mereka, dinar. Situasi kemudian memburuk secara dramatis setelah Kaisar Diocletian menerapkan kontrol harga dan koin baru yang disebut argenteus, yang nilainya setara dengan 50 dinar.
Baca Juga: Robert Kiyosaki: The Fed Menaikkan Suku Bunga, akan Menghancurkan Ekonomi AS Menurut perkiraan beberapa sejarawan, hasil dari kebijakan kaisar Romawi yang tidak berkelanjutan adalah tingkat inflasi sebesar 15.000% antara tahun 200 dan 300 M. Icahn mengatakan bahwa inflasi seperti ini sangat mengkhawatirkan sehingga dia ingin melihat Federal Reserve menaikkan suku bunga sebesar 1% penuh pada hari Rabu, daripada kenaikan 75 basis poin yang diumumkan Ketua Powell. Sebelumnya diberitakan, Federal Reserve kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin untuk ketiga kalinya berturut-turut pada Rabu (21/9) dan mengisyaratkan kemungkinan besar setidaknya satu kenaikan lagi sebesar itu di tahun ini.
Gubernur bank sentral berjanji bahwa para pejabat The Fed tidak akan menyerah dalam pertempuran mereka untuk menahan laju inflasi.
Baca Juga: The Fed Naikkan Suku Bunga, Begini Nasib Rupiah ke Depan Mengutip
Reuters, The Fed menaikkan suku bunga target ke kisaran 3,00%-3,25% - level tertinggi sejak 2008 - dan proyeksi baru menunjukkan suku bunga kebijakan naik menjadi antara 4,25%-4,50% pada akhir tahun ini sebelum mencapai 4,50% -4.75% pada tahun 2023. Gubernur Fed Jerome Powell mengatakan pejabat bank sentral AS sangat bertekad untuk menurunkan inflasi dari level tertinggi dalam empat dekade dan "akan terus melakukannya sampai pekerjaan selesai," sebuah proses yang dia ulangi tidak akan datang tanpa rasa sakit.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie