Saat masih bujangan, Mikno Ade pernah gagal berjualan mi. Alhasil, ia harus bekerja serabutan, antara lain dengan berdagang permen gulali. Tapi kini, Mikno justru terkenal sebagai produsen mi basah terbesar di Malang, Jawa Timur. Jangan kecil hati jika bisnis Anda gagal. Siapa tahu di lain waktu nasib berkata lain. Itulah yang dialami oleh Mikno Ade. Lulus SMA, ia berjualan mi pangsit bikinan sendiri, dan gagal karena sepi pembeli. Namun sekarang, Mikno sudah memproduksi puluhan ton mi dari pabrik Gloria miliknya, di Malang, Jawa Timur. Sejatinya, Mikno tak pernah membayangkan akan menjadi pengusaha mi sukses. Karena tidak ada biaya, Mikno tak melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 1963. Anak bungsu dari empat bersaudara ini justru memilih untuk berdagang. Mikno mengikuti jejak orang tuanya yang membuka warung di rumah mereka, di Sawahan Malang, Jawa Timur. Jika orangtuanya membuka toko kelontong dan berjualan es teh serta gorengan, Mikno memilih berjualan mi pangsit. Untuk melayani pembeli, Mikno membuat mi sendiri. Tapi, lantaran malu bertanya resep mi, ia pun bereksperimen dengan resep bikinan sendiri. “Yang penting, bahannya ada tepung, bumbu, telur, air, dan garam,” tuturnya. Untuk warungnya, Mikno hanya membuat satu hingga dua kilogram (kg) mi saja. Namun, setelah berjalan hampir setengah tahun, Mikno harus menutup warung mi ini. “Rupanya para pembeli itu makan di warung mi saya karena kasihan,” kata Mikno. Pelanggan mi Mikno kebanyakan adalah teman-teman dan mantan gurunya sendiri. Terhenti dari bisnis mi, Mikno bekerja serabutan. Ia pernah menjadi sopir taksi, pedagang lotre, bakpao, hingga permen gulali. Tapi, nasib Mikno tak juga membaik, lebih lagi karena warung milik orang tuanya ditutup oleh pemerintah pada 1966, dengan dalih warga keturunan Tionghoa tak boleh memiliki usaha. “Padahal, warung itulah yang menunjang hidup kami sehari-hari,” kenangnya.Pada tahun 1970-an Mikno berkenalan dengan calon istrinya, Paula Chandrawati. Kebetulan, orang tua Paula adalah penjual cui mi. Mikno lantas ikut terjun, membantu warung mertua yang juga berada di daerah Sawahan. Mikno juga membantu, ketika sang mertua ingin memindahkan warung ke dekat rumah kontrakan mereka di Jalan Kawi, Malang. Setelah warung yang baru itu dikenal pembeli, ia pun kembali ke Sawahan untuk merintis warung cui mi miliknya sendiri.Kali ini, nasib baik mulai berpihak kepada Mikno, karena banyak pembeli menyambangi warung mi ini. Melihat kebutuhan mi yang besar, Mikno memutuskan untuk membuat mi basah sendiri. Ia menyerahkan pengelolaan warung kepada sang istri. Ide nama dari bengkelBerbeda dengan kali pertama berusaha, kini Mikno memiliki cukup modal. Ia membeli mesin pembuat mi yang diputar dengan tangan. Tak disangka, salah seorang kenalannya tertarik memesan mi olahan Mikno tersebut. “Teman saya itu bilang kalau mi buatan tangan lebih enak,” tutur dia.Sejak itulah, Mikno mulai menerima pesanan mi. Dalam sehari, ia sanggup memproduksi 10 kg hingga 25 kg mi. Pada hari raya, pesanan mi bisa berlipat hingga 50 kg. Lantaran pesanan mi makin ramai, Mikno membeli mesin-mesin yang lebih lengkap. Dengan dukungan peralatan tersebut, ia pun mendirikan pabrik mi Gloria. Nama itu tercetus saat anaknya menyanyikan lagu gereja yang memiliki lirik kata gloria. Nama gloria juga sudah akrab, karena saat berjualan es dulu, ia kerap mangkal di depan bengkel Glori. “Saya bermimpi untuk menjadi orang sukses seperti pelanggan bengkel mobil itu,” tuturnya.Selain tekad yang kuat, ternyata Mikno juga memiliki bakat mekanik. Ia memodifikasi mesin pembuat mi sendiri, supaya bisa menghasilkan mi dengan tekstur dan tingkat kelenturan yang tepat.Setelah sepuluh tahun bergelut dalam usaha pembuatan mi, ayah tiga anak ini pun mulai menikmati jerih payahnya. Ia mengajak seluruh anggota keluarga Mikno untuk berwisata ke Bali. “Itu perjalanan wisata pertama yang menjadi kenangan kami,” katanya.Kini, puluhan tahun berlalu, pabrik mi Gloria sudah tenar. Gloria menjelma menjadi pabrik mi terbesar di Malang dengan segmen pembeli kalangan menengah ke atas. Mikno pun sanggup membuat beragam mi sesuai dengan kebutuhan konsumen. “Tak masalah. Mau ukuran apa, bahan apa, kuantitas berapa, saya bisa buat,” tuturnya percaya diri. Ia menyebut berbagai produk mi Gloria, mulai dari mi vegetarian alias mi tanpa telur, hingga mi dengan campuran telur bebek.Namun, Mikno tetap memegang teguh prinsipnya untuk tidak memakai pengawet berlebihan. Itu sebabnya mi buatan Mikno tak awet jika disimpan dalam suhu ruangan. Kini, ia juga memakai kemasan food grade sebagai pembungkus mi. Untuk melayani pesanan, pabrik pun beroperasi dua kali sehari. Dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 25.000 per kg, pabrik ini memproduksi puluhan ton mi per bulan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mimpi mikno terwujud berkat tekad sepanjang mi
Saat masih bujangan, Mikno Ade pernah gagal berjualan mi. Alhasil, ia harus bekerja serabutan, antara lain dengan berdagang permen gulali. Tapi kini, Mikno justru terkenal sebagai produsen mi basah terbesar di Malang, Jawa Timur. Jangan kecil hati jika bisnis Anda gagal. Siapa tahu di lain waktu nasib berkata lain. Itulah yang dialami oleh Mikno Ade. Lulus SMA, ia berjualan mi pangsit bikinan sendiri, dan gagal karena sepi pembeli. Namun sekarang, Mikno sudah memproduksi puluhan ton mi dari pabrik Gloria miliknya, di Malang, Jawa Timur. Sejatinya, Mikno tak pernah membayangkan akan menjadi pengusaha mi sukses. Karena tidak ada biaya, Mikno tak melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 1963. Anak bungsu dari empat bersaudara ini justru memilih untuk berdagang. Mikno mengikuti jejak orang tuanya yang membuka warung di rumah mereka, di Sawahan Malang, Jawa Timur. Jika orangtuanya membuka toko kelontong dan berjualan es teh serta gorengan, Mikno memilih berjualan mi pangsit. Untuk melayani pembeli, Mikno membuat mi sendiri. Tapi, lantaran malu bertanya resep mi, ia pun bereksperimen dengan resep bikinan sendiri. “Yang penting, bahannya ada tepung, bumbu, telur, air, dan garam,” tuturnya. Untuk warungnya, Mikno hanya membuat satu hingga dua kilogram (kg) mi saja. Namun, setelah berjalan hampir setengah tahun, Mikno harus menutup warung mi ini. “Rupanya para pembeli itu makan di warung mi saya karena kasihan,” kata Mikno. Pelanggan mi Mikno kebanyakan adalah teman-teman dan mantan gurunya sendiri. Terhenti dari bisnis mi, Mikno bekerja serabutan. Ia pernah menjadi sopir taksi, pedagang lotre, bakpao, hingga permen gulali. Tapi, nasib Mikno tak juga membaik, lebih lagi karena warung milik orang tuanya ditutup oleh pemerintah pada 1966, dengan dalih warga keturunan Tionghoa tak boleh memiliki usaha. “Padahal, warung itulah yang menunjang hidup kami sehari-hari,” kenangnya.Pada tahun 1970-an Mikno berkenalan dengan calon istrinya, Paula Chandrawati. Kebetulan, orang tua Paula adalah penjual cui mi. Mikno lantas ikut terjun, membantu warung mertua yang juga berada di daerah Sawahan. Mikno juga membantu, ketika sang mertua ingin memindahkan warung ke dekat rumah kontrakan mereka di Jalan Kawi, Malang. Setelah warung yang baru itu dikenal pembeli, ia pun kembali ke Sawahan untuk merintis warung cui mi miliknya sendiri.Kali ini, nasib baik mulai berpihak kepada Mikno, karena banyak pembeli menyambangi warung mi ini. Melihat kebutuhan mi yang besar, Mikno memutuskan untuk membuat mi basah sendiri. Ia menyerahkan pengelolaan warung kepada sang istri. Ide nama dari bengkelBerbeda dengan kali pertama berusaha, kini Mikno memiliki cukup modal. Ia membeli mesin pembuat mi yang diputar dengan tangan. Tak disangka, salah seorang kenalannya tertarik memesan mi olahan Mikno tersebut. “Teman saya itu bilang kalau mi buatan tangan lebih enak,” tutur dia.Sejak itulah, Mikno mulai menerima pesanan mi. Dalam sehari, ia sanggup memproduksi 10 kg hingga 25 kg mi. Pada hari raya, pesanan mi bisa berlipat hingga 50 kg. Lantaran pesanan mi makin ramai, Mikno membeli mesin-mesin yang lebih lengkap. Dengan dukungan peralatan tersebut, ia pun mendirikan pabrik mi Gloria. Nama itu tercetus saat anaknya menyanyikan lagu gereja yang memiliki lirik kata gloria. Nama gloria juga sudah akrab, karena saat berjualan es dulu, ia kerap mangkal di depan bengkel Glori. “Saya bermimpi untuk menjadi orang sukses seperti pelanggan bengkel mobil itu,” tuturnya.Selain tekad yang kuat, ternyata Mikno juga memiliki bakat mekanik. Ia memodifikasi mesin pembuat mi sendiri, supaya bisa menghasilkan mi dengan tekstur dan tingkat kelenturan yang tepat.Setelah sepuluh tahun bergelut dalam usaha pembuatan mi, ayah tiga anak ini pun mulai menikmati jerih payahnya. Ia mengajak seluruh anggota keluarga Mikno untuk berwisata ke Bali. “Itu perjalanan wisata pertama yang menjadi kenangan kami,” katanya.Kini, puluhan tahun berlalu, pabrik mi Gloria sudah tenar. Gloria menjelma menjadi pabrik mi terbesar di Malang dengan segmen pembeli kalangan menengah ke atas. Mikno pun sanggup membuat beragam mi sesuai dengan kebutuhan konsumen. “Tak masalah. Mau ukuran apa, bahan apa, kuantitas berapa, saya bisa buat,” tuturnya percaya diri. Ia menyebut berbagai produk mi Gloria, mulai dari mi vegetarian alias mi tanpa telur, hingga mi dengan campuran telur bebek.Namun, Mikno tetap memegang teguh prinsipnya untuk tidak memakai pengawet berlebihan. Itu sebabnya mi buatan Mikno tak awet jika disimpan dalam suhu ruangan. Kini, ia juga memakai kemasan food grade sebagai pembungkus mi. Untuk melayani pesanan, pabrik pun beroperasi dua kali sehari. Dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 25.000 per kg, pabrik ini memproduksi puluhan ton mi per bulan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News