Minat investor naik, tenor pendek masih diburu pada lelang SUN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield yang cukup tinggi membuat lelang Surat Utang Negara (SUN), Selasa (25/9) berlangsung sukses ramai diburu investor.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, lelang SUN yang sudah terlaksana tujuh kali di kuartal III ini menerima penawaran masuk dari investor sebesar Rp 51,5 triliun. Perolehan tersebut lebih tinggi dari penawaran yang masuk di lelang SUN dua pekan lalu yang senilai Rp 36,8 triliun.

Banyaknya jumlah permintaan yang masuk, membuat pemerintah menyerap lebih banyak dari target indikatf awal di Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Dana yang pemerintah serap tersebut juga lebih besar dari dana yang diserap dalam lelang SUN dua pekan lalu yang sebesar Rp 16 triliun.


Presiden Direktur Asanusa Asset Management Siswa Rizali mengatakan lelang kali ini berlangsung sukses menerima peningkatan penawaran dari investor karena yield yang ditawarkan cukup tinggi. "Secara valuasi yield di atas 8% menarik," kata Siswa, Selasa (25/9).

Tercatat, yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan pada seri acuan baru di 2019, yaitu FR0078 dengan tenor 10 tahun berada di 8,27%.

Siswa menambahkan dibanding dengan negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia, tingkat yield SUN masih lebih tinggi. Kondisi ini tentu semakin menambah minat investor asing untuk masuk ke pasar SUN. Dari sisi perbedaan tingkat yield SUN dengan inflasi Indonesia pun, cukup lebar dan menarik investor lokal.

Secara valuasi Siswa menilai tingkat yield SUN memang menarik, tetapi secara fundamental Siswa masih memandang ke depan kinerja obligasi dalam negeri masih akan berat. Hal tersebut membuat investor lebih banyak memburu seri tenor pendek dari pada seri tenor panjang.

Tercatat seri SPN03181226 bertenor tiga bulan mendapat penawaran terbanyak dari investor senilai Rp 15 triliun.

Siswa berpandangan fundamental dalam negeri prospeknya masih akan tertekan bila pemerintah mempertahankan subsidi BBM dan porsi utang yang sebanyak 40% dalam mata uang asing. "Otomatis tiap terjadi pelemahan rupiah dan kenaikan BBM itu akan meningkatkan beban utang, artinya fundamental utang kita kurang baik," kata Siswa.

Para investor lebih banyak memburu tenor pendek untuk mengambil posisi aman agar mengurangi risiko capital loss. Siswa menjelaskan ketika fundamental ekonomi kondisinya bergerak ke arah negatif, otomatis yield akan naik dan harga obligasi menjadi turun.

Siswa menyoroti kegiatan pengetatan stimulus AS ditengah defisitnya anggaran AS bisa membuat AS semakin gencar mengeluarkan obligasi dan terjadi kompetisi perolehan dana. Kondisi tersebut akan mempengaruhi negara yang memiliki banyak utang seperti Argentina.

Jika kondisi di Argentina berlanjut ke negara lain, pada akhirnya bisa terjadi juga di Indonesia. "Ke depan prospek obligasi dalam negeri masih berat," kata Siswa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati