Minat Perbankan Pada Instrumen SRBI Kian Tinggi, Terpikat Imbal Hasil yang Menarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak hadir pada akhir 2023 lalu, instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terus memiliki daya pikat yang tinggi. Bahkan, instrumen tersebut tampak laris manis diborong oleh industri perbankan.

Data Bank Indonesia (BI) mencatat kepemilikan perbankan terhadap instrumen SRBI sudah mencapai Rp 461,29 triliun atau setara 63,97% dari total kepemilikan instrumen tersebut per Juni 2024.   

Jumlah kepemilikan perbankan di alat moneter BI yang baru ini memang terus meningkat sejak hadir pada September 2023. Sepanjang 2024 berjalan hingga Juni, kepemilikannya saja sudah bertambah Rp 272,01 triliun.


Baca Juga: Dana Asing ke SRBI Mengerek ULN

Sejalan dengan tren tersebut, kepemilikan bank di instrumen Surat Berharga Negara justru mengalami penurunan. 

Data Kementerian Keuangan mencatat perbankan telah melepas kepemilikan SBN sebesar Rp 211,77 triliun secara year to date hingga 27 Juni 2024.

Dengan cerminan data tersebut, ada kemungkinan terjadi perubahan minat perbankan dalam menaruh dananya di SRBI ketimbang SBN.  Maklum, bunga yang ditawarkan SRBI memang cukup tinggi dengan paling tinggi bisa mencapai 7,35% per 14 Juni 2024.

Untuk menyegarkan ingatan, pada akhir tahun lalu, sejatinya Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan perbankan untuk tidak banyak memarkirkan dananya di surat berharga, baik itu SBN maupun SRBI.

Memang, kala itu penyaluran kredit perbankan terlihat cukup seret dengan hanya sekitar 10%. “Tolong lebih didorong lagi kreditnya, terutama bagi UMKM," ujar Jokowi pada kala itu.

Head of Trading & Treasury Global Financial Markets PT Bank DBS Indonesia Ronny Setiawan mengungkapkan bahwa sejatinya pihaknya selalu menyesuaikan kebutuhan bank dalam penempatan dana yang dimiliki.  Tentu dengan melihat karakteristik baik itu SBN maupun SRBI.

Ia melihat dua instrumen ini memiliki keunggulan masing-masing jika disesuaikan dengan kebutuhannya. Misal, ia melihat SBN memiliki durasi yang lebih panjang sehingga capital gain yang didapatkan lebih besar.

Baca Juga: Utang Luar Negeri Pemerintah dan Swasta Turun pada Juni 2024, Ini Penyebabnya

Sementara, Ronny menyebut SRBI memiliki keunggulan dengan return yang lebih tinggi dengan jangka waktu yang lebih pendek. Alhasil, terdapat reinvestment risk ketika instrumen tersebut jatuh tempo.

”Alokasi pembelian disesuaikan dengan kebutuhan penempatan bank saat itu,” ujar Rony.

Memang, Rony enggan menyebutkan seberapa besar kepemilikan Bank DBS di masing-masing instrumen tersebut. Hanya saja, pada laporan keuangan bulanan per Mei 2024, kepemilikan Bank DBS di instrumen surat berharga senilai Rp 24,68 triliun atau naik 38,72% secara tahunan (YoY).

Untuk likuiditas, Rony mengungkapkan bahwa saat ini bank melihat yang lebih ketat adalah likuiditas valas. Sebab, kondisi global yang masih menunggu peonggaran suku bunga oleh The Fed.

”Kalau likuiditas rupiah, kami melihat cukup tersedia di mana BI memiliki beberapa instrumen untuk injeksi likuiditas jika dibutuhkan,” ujarnya.

Sementara itu, EVP Corporate Communication & Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Hera F. Haryn bilang penempatan dana pada instrumen surat berharga merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas. 

Di mana, penempatan dana pada instrumen seperti SBN maupun SRBI dinilai juga untuk mendukung perekonomian nasional.

Berdasarkan laporan keuangan bulanan BCA per Mei 2024, penempatan dana di surat berharga senilai Rp 339,41 triliun. Angka tersebut terlihat naik dari periode sama tahun lalu yang hanya senilai Rp 279,58 triliun.

”BCA senantiasa akan mengelola likuiditas secara prudent dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian,” ujar Hera.

Menanggapi tren tersebut, Ekonom Perbankan Binus University Dody Arifianto mengungkapkan bahwa sejatinya perbankan memang tidak bisa dipaksa untuk terus mengucurkan kredit di kondisi saat ini. Menurutnya, perbankan memiliki pertimbangan tersendiri sehingga lebih memilih menempatkan dananya di surat berharga.

Ia berpendapat saat ini perbankan memang tengah hati-hati dalam mengucurkan kredit di situasi seperti ini. Ditambah, saat ini kredit perbankan juga perlahan sudah mulai tumbuh.

”Memang saat ini kredit belum optimal karena khawatir nanti justru jadi NPL,” ujarnya.

Di sisi lain,  Dody justru menyoroti adanya tren semacam switching yang terjadi dari instrumen SBN ke SRBI. Menurutnya, ini terjadi ketika adanya perbedaan yang mencolok dari imbal hasil yang ditawarkan dari dua instrumen tersebut.

Ia bilang seharusnya sebagai sama-sama alat moneter, karakteristik dari dua instrumen tersebut tidak banyak berbeda. Sehingga, imbal hasil yang ditawarkan seharusnya bisa sama antara kedua instrumen ini.

”Sebenarnya BI tidak perlu juga ada instrumen SRBI karena SBN lebih efisien dan itu hanya masalah diskonto saja,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi