JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai memanggil pengusaha terkait penentuan ulang kriteria produk mineral yang boleh diekspor pada 12 Januari 2014 nanti. Pengusaha yang pertama berdiskusi dengan ESDM adalah pengusaha mineral non logam seperti zirkonium (bahan baku keramik). Berdasarkan hasil pertemuan yang dimulai pukul 08.00-12.00 WIB itu, pengusaha dengan pemerintah menandatangani berita acara, yang isinya memuat produk akhir komoditas zirkonium yang boleh diekspor yaitu, pasir zirkon kadar 65,5%, zirkonium silikat kadar 64%, dan dua belas produk lainnya. Kadar minimum dari produk akhir tersebut tidak berbeda dengan aturan yang sedang direvisi oleh pemerintah, yaitu Permen ESDM Nomor 20/2013. Selain itu, pengusaha juga menjamin untuk pemenuhan kebutuhan pasir zirkon dalam negeri sebesar 20.000 ton dari total produksi 80.000 ton per tahun.
Selama ini, kebutuhan pasir zirkon diperuntukan untuk bahan baku pabrik zirkonium silikat yang berfungsi untuk pelapis keramik, serta campuran bahan baku produk manufaktur lainnya. Ferry Alfiand, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Zirkonium Indonesia (APZI) mengatakan, pihaknya tentu siap untuk mengutamakan pemenuhan pasokan di dalam negeri. Tapi, "Ketika kami usulkan klausul pasir zirkon dan produk akhir lainnya bebas bea keluar di berita acara, pemerintah malah menolak dan tidak berani menjanjikan hal itu," kata dia kepada KONTAN, Jumat (3/1). Ferry menyatakan, adanya pungutan bea keluar ini sangat membebani pengusaha tambang karena tak dapat bersaing dengan pengusaha dalam menjual produknya ke luar negeri. Sebagai contoh, dengan harga pasir zirkon US$ 1.000 per ton, bea keluar yang harus dibayar pengusaha ke pemerintah sebesar US$ 200 per ton.