KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan teknologi yang cukup pesat dianggap berpotensi dalam penyerapan tenaga kerja. Banyak industri-industri yang banyak menggunakan teknologi untuk meningkatkan daya produksi. Lalu bagaimana dengan industri tekstil di Indonesia? Apakah penggunaan teknologi mampu mengurangi daya serap tenaga kerja?. Menurut Executive Assistant President Director PT Asia Pacific Fibers Tbk (APF), Prama Yudha Amdan mengatakan jika hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat, sebab teknologi tekstil di Indonesia belum begitu maju seperti teknologi yang ada di luar negri. Selain itu investasi dapat dikatakan masih belum terlalu besar. "Kondisi permesinan tekstil di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain, karena dalam 10 tahun terakhir investasi sektor tekstil di Indonesia masih sangat minim," ujarnya pada KONTAN, Jum'at (27/10). Ia juga mengatakan bahwa APF berada pada bagian hulu yang mana pengayaan teknologi berada pada rekayasa polimer. Untuk saat ini dan beberapa waktu kedepan, Prama mengklaim jika saat ini dan beberapa waktu kedepan, sektor tekstil belum memiliki potensi berkurangnya pekerjaan buruh akibat teknologi. Selain itu, menurut Prama penggunaan teknologi ini lebih untuk meningkatan kualitas produk spesialis, bukan untuk menggantikan pekerjaan buruh tekstil. Ia mengungkapkan jika saat ini belum ada teknologi dalam sektor tekstil yang mampu menghilangkan pekerjaan buruh tekstil. "Hingga saat ini setahu saya untuk sektor tekstil, belum ada teknologi yang bisa menghilangkan pekerjaan. Kalau meningkatkan produktivitas mungkin ada," bebernya. Nantinya APF akan memperbaiki dan mengembangkan teknologi untuk produksi secara perlahan. Hingga saat ini Prama bilang belum ada investasi major dan masih menunggu restrukturisasi perusahaan yang berada di tangan pemerintah. Disisi lain Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan jika belum ada dampak potensi pengurangan buruh tekstil akibat adanya teknologi. Ia mengungkapkan jika belum ada yang namanya revitalisasi dalam industri hulu. "Katakanlah pabrik di kita didirikan tahun 80 an, sekitar 40 tahun kurang pabrik itu berdiri belum ada yang namanya revitalisasi di industri hulu," kata Ade. Sehingga, tentu keterbatasan produksi menjadi kian terasa di pasaran karena perusahaan-perusahaan di luar sudah memodelisir produk-produknya. Di Indonesia hanya terdapat 20 item polyster, tentunya perbedaan ini mencolok dan impor lebih besar di sektor serat. "Untuk polyester saja kita hanya membuat tidak lebih dari 20 item, padahal di dunia ini terdapat 100 macam lebih," terangnya. Ade mengungkapkan bahwa disatu sisi industri serat di Indonesia meminta perlindungan karena harmonized system yang sama, baik polyester jenis canggih ataupun tidak canggih tetap sama aja, sehingga harga pun tidak bersaing dan disisi lainnya, hilir juga tidak berdampk apa-apa, ini yang membuat produsen lebih memilih membeli serat yang sudah jadi. Selain itu, menurut Ade strategi perdagangan di Indonesia belum komprehensif, sebab yang harus dilindungi adalah produk hilir. "Sehingga produk hilirnya ini tidak akan rembes. Maka kalau hilirnya di proteksi, tidak mudah produk-produk yang lain untuk bisa di intervensi," paparnya. Ia menjelaskan jika dalam 5-10 tahun kedepan teknologi belum mampu menyusutkan pekerjaan dalam sektor tekstil sebab adanya invetasi baru. Jika pertumbuhan industri itu tidak mencapai minimal 5%-7% artinya ada penyerapan kerja yang hilang disetiap tahunnya. Ade mengatakan jika pemerintah juga harus duduk bersama para pelaku industri dan membuat strategi untuk jangka panjang
Minim investasi, teknologi mesin tekstil sudah tua
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan teknologi yang cukup pesat dianggap berpotensi dalam penyerapan tenaga kerja. Banyak industri-industri yang banyak menggunakan teknologi untuk meningkatkan daya produksi. Lalu bagaimana dengan industri tekstil di Indonesia? Apakah penggunaan teknologi mampu mengurangi daya serap tenaga kerja?. Menurut Executive Assistant President Director PT Asia Pacific Fibers Tbk (APF), Prama Yudha Amdan mengatakan jika hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat, sebab teknologi tekstil di Indonesia belum begitu maju seperti teknologi yang ada di luar negri. Selain itu investasi dapat dikatakan masih belum terlalu besar. "Kondisi permesinan tekstil di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain, karena dalam 10 tahun terakhir investasi sektor tekstil di Indonesia masih sangat minim," ujarnya pada KONTAN, Jum'at (27/10). Ia juga mengatakan bahwa APF berada pada bagian hulu yang mana pengayaan teknologi berada pada rekayasa polimer. Untuk saat ini dan beberapa waktu kedepan, Prama mengklaim jika saat ini dan beberapa waktu kedepan, sektor tekstil belum memiliki potensi berkurangnya pekerjaan buruh akibat teknologi. Selain itu, menurut Prama penggunaan teknologi ini lebih untuk meningkatan kualitas produk spesialis, bukan untuk menggantikan pekerjaan buruh tekstil. Ia mengungkapkan jika saat ini belum ada teknologi dalam sektor tekstil yang mampu menghilangkan pekerjaan buruh tekstil. "Hingga saat ini setahu saya untuk sektor tekstil, belum ada teknologi yang bisa menghilangkan pekerjaan. Kalau meningkatkan produktivitas mungkin ada," bebernya. Nantinya APF akan memperbaiki dan mengembangkan teknologi untuk produksi secara perlahan. Hingga saat ini Prama bilang belum ada investasi major dan masih menunggu restrukturisasi perusahaan yang berada di tangan pemerintah. Disisi lain Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan jika belum ada dampak potensi pengurangan buruh tekstil akibat adanya teknologi. Ia mengungkapkan jika belum ada yang namanya revitalisasi dalam industri hulu. "Katakanlah pabrik di kita didirikan tahun 80 an, sekitar 40 tahun kurang pabrik itu berdiri belum ada yang namanya revitalisasi di industri hulu," kata Ade. Sehingga, tentu keterbatasan produksi menjadi kian terasa di pasaran karena perusahaan-perusahaan di luar sudah memodelisir produk-produknya. Di Indonesia hanya terdapat 20 item polyster, tentunya perbedaan ini mencolok dan impor lebih besar di sektor serat. "Untuk polyester saja kita hanya membuat tidak lebih dari 20 item, padahal di dunia ini terdapat 100 macam lebih," terangnya. Ade mengungkapkan bahwa disatu sisi industri serat di Indonesia meminta perlindungan karena harmonized system yang sama, baik polyester jenis canggih ataupun tidak canggih tetap sama aja, sehingga harga pun tidak bersaing dan disisi lainnya, hilir juga tidak berdampk apa-apa, ini yang membuat produsen lebih memilih membeli serat yang sudah jadi. Selain itu, menurut Ade strategi perdagangan di Indonesia belum komprehensif, sebab yang harus dilindungi adalah produk hilir. "Sehingga produk hilirnya ini tidak akan rembes. Maka kalau hilirnya di proteksi, tidak mudah produk-produk yang lain untuk bisa di intervensi," paparnya. Ia menjelaskan jika dalam 5-10 tahun kedepan teknologi belum mampu menyusutkan pekerjaan dalam sektor tekstil sebab adanya invetasi baru. Jika pertumbuhan industri itu tidak mencapai minimal 5%-7% artinya ada penyerapan kerja yang hilang disetiap tahunnya. Ade mengatakan jika pemerintah juga harus duduk bersama para pelaku industri dan membuat strategi untuk jangka panjang