Minta beralih ke EBT, Bank Dunia soroti ketergantungan pada energi berbasis fosil



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia menyoroti pasokan energi Indonesia yang hingga sekarang masih ketergantungan terhadap energi berbasis fosil, khususnya batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang melimpah dengan jenis yang beragam.

Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen mengatakan, dengan sumber daya EBT yang dimiliki, Indonesia semestinya bisa mengejar target bauran energi maupun penurunan emisi. Dia mencontohkan melimpahnya potensi energi yang berasal dari geothermal atau panas bumi, angin dan air.

Ketiga sumber daya berbasis EBT tersebut dinilai mampu mengikis penggunaan bahan bakar fosil penyumbang utama emisi. Satu mengambil contoh melimpahnya potensi panas bumi yang dinilainya cocok untuk menurunkan ketergantungan terhadap batubara dalam memasok setrum untuk kebutuhan di sistem utama seperti Jawa-Bali dan Sumatera.


Tak hanya memasok setrum ke sistem utama, panas bumi juga bisa mengisi kekurangan pasokan listrik di wilayah Indonesia bagian timur. Sebab, selama ini setrum untuk Indonesia bagian timur masih banyak dipasok oleh energi berbasis bahan bakar minyak (BBM) seperti diesel. Selain memperluas bauran EBT, pemanfaatan panas bumi dinilai bisa menekan tingginya biaya untuk membeli BBM.

"Ada potensi sekitar 20 Gigawatt panas bumi yang bisa dikembangkan untuk menggantikan PLTU di sistem utama. Juga ada potensi mengembangan 1 GW - 2 GW pembangkit panas bumi yang biaya produksi listriknya bisa lebih efisien dibandingkan diesel," kata satu dalam Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIIGC) 2020 yang digelar secara daring, Selasa (8/9).

Baca Juga: Bulan depan, PLN luncurkan layanan sertifikasi EBT untuk pelaku industri

Namun, ada persoalan yang harus dibenahi agar panas bumi maupun EBT lainnya bisa berkembang dengan pesat. Satu diantaranya adalah terkait harga yang kompetitif. Pasalnya, energi listrik dari batubara harganya sangat murah, yakni sekitar US$ 7 cent - US$ 9 cent per kilowatt hour (kWh) di Jawa-Bali dan Sumatera.  Sedangkan harga listrik panas bumi masih berkisar di angka US$ 10 cent - US$ 12 cent per kWh.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tak menampik bahwa harga panas bumi di Indonesia masih tergolong tinggi, baik dibandingkan negara lain maupun pemanfaatan energi terbarukan lainnya di Indonesia.

Pemanfaatan EBT masih mini

Dia pun mengamini, pemanfaatan listrik panas bumi masih mini. Arifin bilang, Kapasitas terpasang listrik panas bumi yang sudah termanfaatkan baru mencapai 2,13 GW atau 8,9% dari potensi panas bumi di Indonesia yang sebesar 23,9 GW.

Bahkan secara keseluruhan pemanfaatan EBT di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan potensinya yang melimpah. Dalam paparan Arifin, Indonesia memiliki potensi EBT yang melimpah mencapai 417,8 GW. Namun yang dimanfaatkan baru sebesar 10,4 GW atau sekitar 2,5%.

Arifin menyampaikan, panas bumi bakal menjadi salah satu tulang punggung penyediaan energi nasional ke depan. Kata dia, pemerintah terus mengejar target peningkatan kapasitas energi panas bumi hingga mencapai sekiatr 7.000 MW pada tahun 2025.

"Peluang pemanfaatan energi panas bumi masih terbuka lebar dan diperlukan kerja keras yang luar biasa untuk mencapai target yang ditetapkan," ungkap Arifin.

Baca Juga: Jalani strategi akuisisi tambang, PLN pastikan tidak melupakan pengembangan EBT

Editor: Khomarul Hidayat