JAKARTA. Pamor minyak mentah semakin tenggelam. Meningkatnya ketidakpastian di Eropa menekan permintaan minyak, hingga harga komoditas ini makin terpuruk. Di New York Mercantile Exchange, kontrak pengiriman minyak jenis
West Texas Intermediate (WTI) untuk Juni 2012, terbenam hingga US$ 91,48 per barel. Ini adalah level terendah minyak dalam tujuh bulan terakhir. Minyak jenis Brent juga tergerus ke level US$ 107,14 per barel. Penyulut kejatuhan harga minyak adalah pernyataan Wolfgang Schaeuble, Menteri Keuangan Jerman. Schaeuble menuturkan, kekacauan pasar akibat krisis Eropa, kemungkinan berlanjut, sedikitnya dalam dua tahun ke depan.
Di sisi lain, kepastian Yunani menggelar pemilihan umum lagi pada 17 Juni nanti, tidak menyurutkan spekulasi pasar terkait risiko keluarnya Yunani dari Zona Euro. Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings mengungkapkan, jika Yunani keluar, peringkat risiko Siprus, Prancis, Irlandia, Italia, Portugal, Spanyol, Slovenia, dan Belgia, akan ikut-ikutan turun. “Berita makro-ekonomi, terutama yang terkait dengan Eropa, masih negatif. Februari lalu, orang takut menjual minyak, kini orang malah enggan membeli," kata Stephen Schork, Presiden Schork Group di Pennsylvania, seperti yang diberitakan
Bloomberg, Sabtu (19/5). Data Amerika Tekanan harga minyak sudah berlangsung sedikitnya dalam tiga pekan terakhir. Pemicu awal penurunan harga minyak adalah kemerosotan indeks kepercayaan konsumen Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, persediaan minyak negara pengonsumsi minyak terbesar di dunia itu, meningkat hingga level tertinggi dalam 22 tahun terakhir. Itu mengindikasikan, tingkat permintaan minyak menurun. Wahyu T. Laksono, Analis Realtime Futures, menuturkan, dibandingkan pergerakan komoditas lainnya, performa minyak jauh lebih buruk. Menutup pekan lalu misalnya, kelompok emas dan perak yang sempat tertekan dalam, mulai kembali bangkit. Namun, minyak masih keok. Spekulasi di pasar bahkan menyebutkan, jika Yunani keluar dari Uni Eropa, minyak bisa ambles hingga US$ 80. Jika yang terjadi sebaliknya, minyak bisa bertahan di kisaran US$ 100 per barel.
Wahyu memprediksi, minyak pekan ini bergerak di kisaran US$ 85-US$ 98 per barel. Analis teknikal menunjukkan, komoditas ini berpeluang
rebound. Indikator
Relative Strength Index dan
Stochastic menunjukkan jenuh jual. Namun,
Moving Average Convergence-Divergence masih di teritori negatif. Iwan Cahyo, Analis Nine Star Futures, memprediksi, minyak tak cuma tertekan oleh Yunani, tetapi juga oleh indeks manufaktur Amerika yang merosot hingga 5,8 untuk Mei, anjlok jauh dibandingkan April, yaitu 8,5. "Pekan ini, minyak bisa terbenam di US$ 87," ujar dia. Kendati ada peluang
rebound secara teknikal, namun kemungkinan penurunan minyak lebih besar, karena volume transaksi tipis, mengikuti penurunan permintaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie