Minyak membakar daya beli



Kenaikan harga minyak selalu berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga minyak di pasar dunia juga memberi keuntungan. Meskipun dampak negatifnya tetap lebih besar karena Indonesia adalah net importir minyak.

Positifnya, kita diuntungkan dengan harga penjualan yang tinggi. Penerimaan negara, baik dari sisi pajak maupun non pajak bakal bertambah banyak. Apalagi, sekarang anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih kecil daripada tahun-tahun lalu. Alhasil, kenaikan harga BBM tak membebani anggaran.

Namun, kenaikan harga minyak tetap berefek negatif. Apalagi, bila dibarengi dengan pelemahan rupiah yang berpotensi terjadi pada tahun ini.


Otomatis, kenaikan harga minyak menyebabkan biaya BBM meningkat. Ongkos produksi maupun transportasi meningkat. Ujung-ujungnya, harga barang di tingkat konsumen ikut naik.

Mau tidak mau, inflasi ikut tersulut. Pada akhirnya, daya beli masyarakat tergerus. Padahal, daya beli masyarakat mencoba bangkit tahun ini. Kenaikan daya beli masyarakat diharapkan bisa menjadi stimulus perekonomian nasional agar tumbuh 5,3% tahun ini.

Kenaikan harga minyak juga akan membebani neraca perdagangan dan mendorong defisit transaksi berjalan lebih besar. Pasalnya, kecenderungan lifting minyak kita berlawanan dengan konsumsinya.

Lifting minyak per kuartal pertama 2018 hanya sebesar 750.600 barel per hari, di bawah target tahun ini yang mencapai 800.000 barel per hari. Nilai lifting tersebut turun sebesar 6,61% dibandingkan sepanjang 2017. Padahal, tingkat penggunaan minyak per tahun selalu meningkat minimum 10%.

Mau tak mau, impor minyak harus ditambah. Januari-Februari 2018, impor migas sebesar US$ 4,52 miliar, naik 5,08% dibandingkan periode sama tahun lalu. Dengan tren penurunan lifting minyak, impor semakin besar, akan menyulitkan pemerintah mengobati defisit dagang yang selama ini terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi