KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski pada Jumat (9/3) harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berhasil mencatatkan kenaikan cukup signfikan tetapi pergerakannya masih dibayangi sentimen negatif. Proyeksi pertumbuhan minyak Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan akan tumbuh dalam beberapa tahun ke depan tetap berpotensi melemahkan harga. Mengutip Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (9/3) harga minyak WTI kontrak pengiriman April 2018 tercatat menguat 3,19% ke level US$ 62,04 per barel. Namun jika dibandingkan sepekan sebelumnya penguatannya hanya mencapai 1,29%. “Peningkatan pasokan minyak AS ini menyebabkan penurunan harga,” ujar Nanang Wahyudi, Analis PT Finnex Berjangka kepada Kontan.co.id. Menurutnya di akhir tahun 2018 produksi minyak AS bisa mencapai level 11 juta barel per hari. Apalagi pada pekan yang yang berakhir 2 Maret lalu, Energy Information Administration (EIA) melaporkan tingkat produksi sudah mencapai 10,4 juta barel per hari. Ditambah lagi Genscape In juga merilis persediaan minyak di Cushing, Oklahoma naik lebih dari 290.000 barel per 6 Maret lalu. “Itu bisa mengkhianati pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya,” paparnya. Sementara itu dari sisi permintaan, tekanan datang dari China. Biro Administrasi Umum Bea Cukai China merilis terjadinya penurunan impor minyak mentah bulan Oktober yang menyentuh level terendahnya sejak 13 bulan terakhir. Kalau di bulan September, impor minyak masih berada pada 9 juta barel per hari. Tetapi pada Oktober turun menjadi 7,3 juta barel per hari. Hal serupa juga diungkapkan oleh Deddy Yusuf Siregar, Analis PT Asia Tradepoint Futures. Menurutnya pergerakan harga minyak masih tetap dibebani oleh produksi minyak mentah AS. Produksi minyak mentah AS bisa menyentuh level 17 juta barel per hari di tahun 2023 nanti. Walaupun Goldman Sachs telah memproyeksikan adanya kenaikan permintaan minyak global di tahun 2018 sekitar 1,85 juta barel, tetapi Deddy melihat hal itu belum mampu mengimbangi kenaikan produksi minyak negeri Paman Sam. Sampai saat ini, ia melihat tidak ada sentimen positif yang menguntungkan pergerakan harga di kemudian hari. “Meski tingkat kepatuhan pemangkasan produksi OPEC tinggi tetapi trend minyak masih bearish,” terangnya. Apalagi OPEC juga belum memutuskan bagaimana kelanjutan program pemangkasan produksi setelah tahun 2018. Rusia sendiri sebagai salah peserta program pemangkasan tersebut sempat melontarkan wacana untuk mengkaji efektifitas pemangkasan pada pertengahan tahun. Bukan tidak mungkin ketika melihat pemangkasan produksi tak berfungsi ditengah menguatnya produksi AS, negeri pimpinan Putin itu akan mundur dari kesekapakatan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Minyak mentah masih dibayangi sentimen negatif, apa saja?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski pada Jumat (9/3) harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berhasil mencatatkan kenaikan cukup signfikan tetapi pergerakannya masih dibayangi sentimen negatif. Proyeksi pertumbuhan minyak Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan akan tumbuh dalam beberapa tahun ke depan tetap berpotensi melemahkan harga. Mengutip Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (9/3) harga minyak WTI kontrak pengiriman April 2018 tercatat menguat 3,19% ke level US$ 62,04 per barel. Namun jika dibandingkan sepekan sebelumnya penguatannya hanya mencapai 1,29%. “Peningkatan pasokan minyak AS ini menyebabkan penurunan harga,” ujar Nanang Wahyudi, Analis PT Finnex Berjangka kepada Kontan.co.id. Menurutnya di akhir tahun 2018 produksi minyak AS bisa mencapai level 11 juta barel per hari. Apalagi pada pekan yang yang berakhir 2 Maret lalu, Energy Information Administration (EIA) melaporkan tingkat produksi sudah mencapai 10,4 juta barel per hari. Ditambah lagi Genscape In juga merilis persediaan minyak di Cushing, Oklahoma naik lebih dari 290.000 barel per 6 Maret lalu. “Itu bisa mengkhianati pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya,” paparnya. Sementara itu dari sisi permintaan, tekanan datang dari China. Biro Administrasi Umum Bea Cukai China merilis terjadinya penurunan impor minyak mentah bulan Oktober yang menyentuh level terendahnya sejak 13 bulan terakhir. Kalau di bulan September, impor minyak masih berada pada 9 juta barel per hari. Tetapi pada Oktober turun menjadi 7,3 juta barel per hari. Hal serupa juga diungkapkan oleh Deddy Yusuf Siregar, Analis PT Asia Tradepoint Futures. Menurutnya pergerakan harga minyak masih tetap dibebani oleh produksi minyak mentah AS. Produksi minyak mentah AS bisa menyentuh level 17 juta barel per hari di tahun 2023 nanti. Walaupun Goldman Sachs telah memproyeksikan adanya kenaikan permintaan minyak global di tahun 2018 sekitar 1,85 juta barel, tetapi Deddy melihat hal itu belum mampu mengimbangi kenaikan produksi minyak negeri Paman Sam. Sampai saat ini, ia melihat tidak ada sentimen positif yang menguntungkan pergerakan harga di kemudian hari. “Meski tingkat kepatuhan pemangkasan produksi OPEC tinggi tetapi trend minyak masih bearish,” terangnya. Apalagi OPEC juga belum memutuskan bagaimana kelanjutan program pemangkasan produksi setelah tahun 2018. Rusia sendiri sebagai salah peserta program pemangkasan tersebut sempat melontarkan wacana untuk mengkaji efektifitas pemangkasan pada pertengahan tahun. Bukan tidak mungkin ketika melihat pemangkasan produksi tak berfungsi ditengah menguatnya produksi AS, negeri pimpinan Putin itu akan mundur dari kesekapakatan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News