Minyak Mentah Mumbul Tipis, US$ 36,37 per Barel



SINGAPURA. Harga minyak mentah dunia kembali bangkit untuk yang pertama kalinya setelah tiga hari diperdagangakan di level yang kian merosot dan terjungkal lebih dari 30% bulan ini. Sejak menyentuh level tertingginya di bulan Juli lalu pada US$ 147 per barel, harga minyak sudah terperosok 76%, dan tercatat sudah tergelincir 63% tahun ini seiring dengan konsumsi global yang mengikis konsumsi bahan bakar. Nippon Oil Corp., kilang minyak terbesar di Jepang berencana untuk menyusutkan produksinya seebsar 25% pada bulan Januari dan kemungkinan akan melakukan pemangkasan yang lebih besar lagi di tiga bulan pertama pada tahun 2009 lantaran mininya permintaan. "Sebelum libur, orang-orang ingin mengambil untung dan tak ingin berada di posisi jangka panjang," kata Ken Hasegawa, analis Newedge Brokers di Tokyo. Ia mengimbuhkan, "Hari ini harga minyak rebound, tetapi volumenya sangat tipis." Minyak mentah untuk pengiriman Februari mumbul sebesar US$ 1,.02, atau 2,9% menjadi US$ 36,37 per barel di New York Mercantile Exchange, dan diperdagangkan di level US$ 36,33 pada pukul 10:44 waktu Singapura. Konsumsi bahan bakar kian menipis sejakan dengan konsumen yang memangkas pengeluaran mereka. Bahkan, China, kemungkinan akan menghadapi surplus batubara maupun bahan bakar dalam dua tahun ke depan lantaran permintaan juga anjlok. Di AS, persediaan bensin juga menggemuk 3,34 juta barel menjadi 207,3 juta barel minggu lalu. Angka ini dibeberkan oleh Energy Department sehari sebelum Natal tiba. Menurut survei yang dilakukan oleh Bloomberg News, persediaan bensin di AS diprediksikan akan meningkat sebesar 750.000 barel.

Minyak mentah jenis Brent untuk pengiriman Februari menanjak sebesar US$ 1,04, atau 2,8% menjadi US$ 37,65 per barel di ICE Futures exchange London.

Harga minyak kemungkinan akan kembali pulih pada semester kedua tahun depan dan baru akan mencapai patokan harga OPEC sebesar US$ 75 per barel pada tahun 2010. Hal ini dikatakan oleh Sekjenn OPEC Abdalla El Badri.


Kemerosotan yang terjadi selama ini banyak dipengaruhi oleh resesi global, permintaan yang menurun dan persepsi pasar bhwa OPEC tidak akan menghargai kuota produksi mereka sendiri.

Editor: