Minyak merangkak naik seusai kesepakatan OPEC



JAKARTA. Pertemuan informal negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di Aljazair Rabu (28/9), akhirnya menghasilkan kata sepakat untuk memangkas produksi. Keputusan penurunan produksi ini, adalah yang pertama kalinya sejak delapan tahun.

Dalam kesepakatan ini, produksi minyak OPEC diharapkan bisa turun antara 32,5 hingga 33 juta barel per hari, setelah sebelumnya output negara-negara OPEC menyentuh 33,4 juta barel per hari. Arab Saudi, salah satu negara penghasil minyak terbesar diharapkan dapat memangkas 350.000 barel per hari dari output produksinya.

Mengutip Bloomberg, Kamis (29/9) pukul 12.37 WIB harga minyak WTI kontrak November 2016 di New York Mercantile Exchange mulai perlahan terangkat ke level US$47,14 per barel setelah sehari sebelumnya (28/9) harga tercatat ditutup pada level US$ 47,05 atau membaik 0,19%, namun pada pukul 14.29 WIB harga minyak kembali tergerus 0,18% ke level US$ 46,87 per barel.


Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Asia Tradepoint Futures bilang, kenaikan harga minyak masih terbatas. Hal ini dikarenakan ada tiga negara yang dikecualikan dari pemangkasan produksi tersebut, yakni Iran yang baru saja lepas dari sanksi ekonomi, serta Libya dan Nigeria yang fasilitas produksi minyaknya rusak karena serangan teroris.

"Karena masih ada tiga negara yang tidak menurunkan produksi, pasokan minyak dunia akan cenderung tetap. Iran masih memproduksi 3,6 juta barel per hari, dan diharapkan akhir tahun ini mampu tembus ke angka 4,6 juta barel per hari," ujar Deddy.

Deddy menilai, pelaku pasar masih bersikap cukup wajar karena pertemuan ini hanyalah pertemuan informal. Diharapkan, hasil kesepakatan di Aljazair ini akan diteken pada pertemuan OPEC ke-171 di Wina, Austria pada 30 November 2016.

Secara teknikal, Deddy melihat minyak sudah dalam keadaan overbought dan cenderung untuk terkoreksi karena pasar cenderung profit-taking pada akhir pekan. Mengingat indeks stochastic yang sudah berada di level 60, Deddy menduga, untuk selanjutnya harga minyak tidak akan bergeser terlalu banyak dan cenderung bearish.

Ke depan, Deddy memprediksi bahwa minyak akan sulit tembus di level US$ 45 - US$ 55 per barel seperti yang diharapkan banyak pihak. Karena dia melihat data ekonomi yang dikeluarkan AS masih beragam. "Data bagus memang ada, namun begitu juga data yang kurang bagus." Kata dia.

Apalagi, adanya kecenderungan bank sentral AS akan menaikkan suku bunga di akhir tahun. Hal ini menurut akan membebani semua harga komoditas yang diperdagangkan dalam dollar AS, termasuk minyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto