KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, pungutan iuran batubara tetap akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) meski nantinya pajak tersebut dapat direstitusi atau dikembalikan lagi kepada wajib pajak. Menanggapi hal tersebut, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, idealnya dalam mitra instansi pengelola (MIP) tidak diperlukan PPN mengingat penjualan batubara telah melekat PPN. Singgih menjelaskan, PPN yang melekat dalam penjualan batubara sejatinya dapat direstitusi, tetapi di saat invoicing tagihan MIP juga dikenakan PPN tentu akan menjadi double nantinya.
“Di sini ada jeda waktu antara PPN dan restitusinya. Saya juga tidak tahu alasan utama mengapa Kementerian Keuangan tetap harus memasukkan PPN,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/5). Baca Juga: Masuk Tahap Final, Pungutan Batubara Bakal Berlaku Semester I 2023 Skema pungutan iuran batubara ini menjadi diskusi bersama antara Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Namun perhitungan skema dan iuran tersebut tentu berada lebih besar di Kementerian Keuangan. Singgih mengungkapkan berdasarkan kabar yang diterimanya pembentukan MIP sudah mendekati final. “Yang saya dengar tinggal satu kali harmonisasi. Kami harapkan akhir Mei atau awal Juni 2023 bisa dapat diterbitkan,” jelasnya. Meskipun saat ini harga batubara mulai melandai, tidak setinggi saat 2022, Singgih menilai, MIP Batubara tetap diperlukan. Beda cerita jika harga komoditas emas hitam ini sudah mencapai level terendahnya di US$ 70 per ton, MIP dinilai sudah tidak diperlukan lagi.