KONTAN.CO.ID - Sebuah penelitian yang terbit di Lancet Planetary Health hari Senin (6/3) menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 99% manusia di bumi hidup di bawah udara yang tidak sehat. Dilansir dari Bloomberg, sekitar 99,82% area daratan di bumi terpapar tingkat materi partikulat 2,5 (PM2,5), di atas batas aman yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO). Oleh para peneliti, jenis partikel kecil tersebut memiliki kaitan dengan dengan kanker paru-paru dan penyakit jantung. Berdasarkan angka tersebut, artinya hanya 0,001% manusia di dunia yang menghirup udara dengan kualitas layak.
Penelitian, yang dilakukan oleh para ilmuwan di Australia dan China, juga menemukan bahwa lebih dari 70% hari di tahun 2019 memiliki konsentrasi PM2.5 harian melebihi 15 mikrogram polutan gas per meter kubik, lebih dari batas harian yang dianjurkan WHO. "Paparan jangka pendek terhadap PM2.5 memiliki masalah kesehatan yang signifikan. Saya berharap studi kami dapat mengubah pikiran para ilmuwan dan pembuat kebijakan untuk paparan harian PM2.5," kata Dr. Yuming Guo, peneliti utama dan profesor kesehatan lingkungan di Monash University. Baca Juga: Induk Facebook Bakal PHK Ribuan Pekerja Pekan Ini Polusi udara disebut telah membunuh 6,7 juta orang per tahun, dengan hampir dua pertiga dari kematian dini disebabkan oleh partikel halus. Saat memperkirakan paparan tahunan di semua wilayah, para peneliti menemukan bahwa konsentrasi tertinggi terjadi di Asia timur (50 mikrogram per meter kubik), diikuti oleh Asia selatan (37 mikrogram) dan Afrika utara (30 mikrogram). Penduduk di Australia dan Selandia Baru menghadapi ancaman paling kecil dari partikel halus, sementara wilayah lain di Oseania dan Amerika bagian selatan juga termasuk tempat dengan konsentrasi PM2.5 tahunan terendah. Para peneliti juga meneliti bagaimana polusi udara berubah selama dua dekade hingga 2019. Baca Juga: Ukraina Minta AS Sediakan Bom Cluster untuk Memperkuat Drone Hasilnya, sebagian besar wilayah di Asia, Afrika utara dan sub-Sahara, Oseania, serta Amerika Latin dan Karibia mengalami peningkatan konsentrasi PM2.5 selama 20 tahun. Kebakaran hutan yang intensif diduga jadi salah satu pendorongnya.