Mitigasi risiko kegaduhan politik



Tanda tanya soal siapa kontestan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 gamblang sudah. Bakal calon presiden Joko Widodo yang diusung oleh sembilan partai politik, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI telah sepakat memilih Ma’ruf Amin sebagai pendamping. Sementara bakal calon presiden Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra berhasil meyakinkan calon mitra koalisinya PKS dan PAN untuk memilih Sandiaga Uno sebagai pendamping.

Drama politik ini menjadi tontonan yang ditunggu hampir oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang mungkin sudah punya calon pilihan pada pemilu mendatang menunggu hasil kongkalikong dan kongsi para elite politik untuk meyakinkan pilihan pemimpin 2019–2024.

Tanggapan beragam terhadap calon wakil presiden yang dipilih oleh Joko Widodo maupun Prabowo. Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dianggap tepat lantaran ada harapan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini bisa meredam isu-isu politik yang mengusung suku, ras, dan agama. Terutama tudingan anti Islam yang selalu jadi senjata untuk menghantam petahana.


Selain itu, masih segar di ingatan kita, saat ratusan ribu umat Islam menggelar aksi masa pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang dikenal dengan 212, sosok Kyai Ma’ruf dianggap punya pengaruh mengademkan suasana. Jika isu tudingan anti-Islam ini terus bergulir, maka dikhawatirkan kondisi politik Indonesia akan memanas pada 2019.

Di sisi koalisi, pendukung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Solahudin Uno merupakan jalan tengah dari kemandekan dialog Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Sandy bisa diterima oleh PKS yang sebelumnya ngotot memasukkan nama Salim Segaf Al-Jufri atau Partai Demokrat yang ngotot menyorongkan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Nama Sandiaga mungkin menjadi harapan agar laku dan diterima generasi milenial sehingga diharapkan mendongkrak elektabilitas Prabowo. Karena kasat mata, Jokowi sebagai petahana lebih sering menyapa dan masuk di kalangan milenial.

Dengan nama-nama yang muncul dalam kontes politik lima tahunan ini, tentu kita semua berharap yang akan beradu bukan lagi  isu pro-Islam dan anti-Islam, santri atau bukan santri, bisa mengaji atau tidak, asing atau aseng, tapi lebih bagaimana cara memajukan seluruh rakyat. Sebab, kita tahu, kalau isu-isu itu terus digoreng menjadi komoditas politik, bakal memecahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pertama, kita berharap koalisi pendukung calon presiden dan wakil presiden 2019–2024 mampu membuat terobosan baru sesuai kebutuhan rakyat di masa depan. Mereka bukan lagi jualan nawacita yang belum kelar atau ok-oce yang jalan hanya saat peluncuran, atau jargon jargon mengembalikan aset yang dikuasai asing. Tidak relevan.

Kedua, koalisi ini semestinya bersifat permanen untuk mengawal pemerintahan di lima tahun ke depan. Jangan sampai setelah satu kubu dinyatakan kalah oleh KPU, lalu kasak-kusuk ikut kubu sebelah untuk mendapatkan jatah menteri. Seperti yang dilakukan oleh PAN, Golkar, juga PPP pada periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla 2014–2019.

Hal ini penting agar ada yang mengawal dan mengkritisi pemerintahan pemenang pemilu. Bukan lagi partai mendapat jatah menteri, tapi menggerogoti dan membusukkan kebijakan dari dalam. Masyarakat musti belajar bahwa oposisi itu juga mulia selama tulus untuk kepentingan rakyat.

Kita mesti sepakat pemilu 2019 harus disambut dengan suka cita, bukan fitnah dan cerca.•                  

Syamsul Ashar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi