Mitsubishi Indonesia tak terpengaruh kasus Jepang



JAKARTA. PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors menegaskan belum ada dampak apapun atas kasus yang dialami Mitsubishi Motors Corporation (MMC). Melalui penjualan mobil Mitsubishi, Krama Yudha menegaskan rencana bisnisnya tetap berjalan.

Hingga saat ini, MMC memang masih terus mengembangkan investigasi terkait ketidaksesuaian konsumsi bahan bakar atas empat modelnya, eK Wagon, eK Space, Dayz dan Dayz Rooz. Investigasi itu pun berkembang ke seluruh model yang sudah dijual MMC secara global.

Namun Isashi Ishimaki, Presiden Direktur Krama Yudha menegaskan, dampak atas investigasi tersebut belum ditemukan di Indonesia.


"Apalagi, kami tidak pernah mempromosikan konsumsi bahan bakar atas produk yang kami jual. Dan di Indonesia, tidak ada aturan soal konsumsi bahan bakar," ucap Isashi, Jumat (29/4).

Ishasi pun mengaku tidak khawatir atas penjualan maupun rencana bisnisnya di Indonesia. Sampai saat ini, Krama Yudha masih melanjutkan pembangunan pabriknya di kawasan Delta Mas, Bekasi.

Pabrik bernilai US$ 600 juta itu akan memiliki kapasitas 80.000 unit per tahun dan akan mulai beroperasi pada semester pertama 2017. Seluruh produksi itu dipilah 60.000 unit buat pasar domestik dan 20.000 unit ekspor ke negara ASEAN.

"Proses pembangunan sudah 88%. Dan sampai saat ini belum ada instruksi penundaan atas kasus MMC," tegas Isashi.

Dia juga bilang, meski investigasi seluruh model Mitsubishi dilakukan secara global, tak ada investigasi khusus ke produk Mitsubishi di Indonesia. Isashi menegaskan, kepedulian Krama Yudha atas kasus MMC sejalan dengan keberadaannya selama 46 tahun di Indonesia dan selalu ingin terbuka atas semua informasi yang ada.

Seperti diketahui, kasus yang dialami MMC terkait ketidaksesuaian konsumsi bahan bakar bagi empat model mobilnya. Salah satunya untuk kelas fuel-economy. Ini bermula pada Februari 2011, target konsumsi bahan bakar adalah 26,4 per liter dan direvisi setelah meeting internal menjadi 29,2 km per liter pada Februari 2013.

Pelanggaran terjadi karena MMC mempergunakan high speed costing test (uji dengan kecepatan tinggi). Hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Jepang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia