MK dinilai berhasil hapus diskriminasi dalam UU MK



JAKARTA. Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruhnya Undang-Undang nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Menurut Margarito, MK telah mengeluarkan putusan yang tepat. Ia mengatakan, banyak ketentuan dalam UU yang dibatalkan MK bertentangan dengan konstitusi. Salah satunya adalah diaturnya kewenangan Komisi Yudisial (KY) membentuk panel ahli dalam rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. "Secara konstitusi itu salah karena membatasi kewenangan tiga lembaga tersebut (Presiden, MA, dan DPR)," kata Margarito, saat dihubungi, Kamis (14/2/2014) malam. Margarito setuju jika rekrutmen hakim konstitusi tak melibatkan KY. Menurutnya, Presiden, MA, dan DPR berhak melakukan rekrutmen hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif dengan menggalang masukan dari kelompok masyarakat sipil. Mengenai calon hakim konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun sebelum diajukan, Margarito menilai, aturan tersebut sangat diskriminatif. Ia mengapresiasi putusan MK yang membatalkannya. Alasannya, kualitas calon hakim agung tak berpengaruh dengan aturan dari atau non-partai politik.  "Persyaratan orang politik itu sangat diskriminatif. Ada patokan seperti itu nanti diperluas ada aturan kelompok dari etnis tertentu tidak bisa jadi hakim MK. Padahal orang parpol juga ikut membangun MK," kata dia. Selanjutnya, ia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan Peraturan Presiden yang mempertegas kewajiban Presiden, MA, dan DPR membentuk panel ahli yang transparan dan partisipatif saat melakukan rekrutmen hakim MK. "Saya minta betul pada Presiden, DPR, serta MA untuk ketika merekrut hakim MK wajib merancang mekanisme internal untuk memenuhi prinsip transparansi dan partisipatif," tandasnya. Sebelumnya, MK dalam putusannya telah membatalkan UU Nomor 4/2014 dan memberlakukan kembali UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Batalnya UU No. 4/2014 ini berarti telah membatalkan adanya panel ahli yang akan menyeleksi bakal calon hakim konstitusi, pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), dan syarat hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan partai politik. (Indra Akuntono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan