KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) segera menggelar sidang
judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 201 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Berdasarkan informasi dari MK, sidang yang diajukan oleh dosen Universitas Indonesia E. Fernando M. Manullang itu akan dimulai esok, Kamis (2/11) pada pukul 11.00 WIB di Gedung MK. Fernando menyampaikan ada beberapa alasan mengapa dirinya mengajukan gugatan terhadap Perppu itu di MK.
Di antaranya, pemerintah telah keliru atas adanya kekosongan hukum sebagai akibat persetujuan Indonesia terhadap konvensi internasional soal pertukaran keuangan antar negara. Sebab, hal tersebut sebetulnya telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015 tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi. Kekeliruan lainnya yakni, konvensi internasional itu seharusnya disahkan ke dalam suatu undang-undang melalui proses ratifikasi. "Penetapan konvensi internasional tanpa melalui proses ratifikasi itu menimbulkan pertanyaannya, apakah isi Perppu Pajak itu sungguh-sungguh sesuai dengan isi konvensi internasional tersebut?” ungkap Fernando kepada KONTAN, Rabu (1/11). Yang mana, konvensi internasional secara fundamental mengatur keterbukaan informasi yang terkait dengan perpajakan itu adalah pembukaan rekening warga negara tertentu yang ada di luar negeri. Sementara, Perppu Pajak ini dinilainya tidak mengatur secara tegas apakah ini berlingkup trans-nasional atau intra-nasional. Perppu malah dapat ditafsirkan memberikan kewenangan “tambahan” kepada otoritas pemerintahan untuk membuka seluruh rekening yang ada di dalam negeri. Dengan demikian ia menilai, Perppu Pajak ini bertentangan dengan konvensi internasional dan bertentangan dan UUD 1945. Seperti Pasal 28D UUD 1945 mengenai perlindungan yang memberikan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kemudian Pasal 28G UUD 1945 yang memberikan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan diri. Tak hanya itu Fernando juga menganggap, Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki hak konstitusional untuk membuka data nasabah. sebab, berdasarkan UU Perbankan, yang berhak membuka data nasabah adalah Kementerian Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. "Keduanya memiliki hak secara konstitusi sebagai pembantu presiden, lah kalau pajak siapa?," tambah dia. Sehingga dirinya merasa dirugikan. Sekadar tahu saja, Fernando bertindak secara sendiri dalam pengajuan gugatan ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto