MK menolak judicial review pasal kewenangan pemblokiran internet



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Pasal 40 ayat 2b mengenai kewenangan pemblokiran internet sebagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penolakan uji materi didasari bahwa kewenangan pemblokiran internet dianggap konstitusional.

"Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Sidang Pengucapan Putusan MK secara virtual, Rabu (27/10).

Hakim Mahkamah dalam pertimbangannya menilai jika Pasal 40 ayat 2b UU ITE, pemerintah telah menyediakan dasar hukum beserta produk hukum dan tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya.


Dengan demikian apa yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran dari pemohon atas tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, dinilai Hakim Mahkamah, tidak akan terjadi, karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Terkait dengan pemutusan akses telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkannya, sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Baca Juga: Kemenkeu revisi peraturan denda atas pelanggaran devisa hasil ekspor, ini alasannya

"Oleh karenanya dalil para pemohon mengenai pertentangan norma pasal 40 ayat 2b undang-undang No 19 tahun 2016 dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat 3 undang-undang 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," jelasnya.

Selanjutnya, Mahkamah menilai bahwa internet merupakan komunikasi digital yang dapat melibatkan siapapun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sangat cepat luas dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu.

Apabila informasi elektronik dan atau dokumen elektronik melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu akses sebelum melakukan pemblokiran, maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif. Dimana dapat menimbulkan kegaduhan keresahan atau mengganggu ketertiban umum.

"Untuk hal inilah diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh pemerintah untuk dapat segera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum," jelasnya.

Pasalnya, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif yang memiliki muatan yang melanggar hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebar dengan cepat dimana saja kapan saja dan kepada siapa saja.

"Oleh sebab itu peran pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia cyber sangat diperlukan mengingat karakteristik internet tersebut mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat," imbuhnya.

Maka Mahkamah menilai tidak mungkin bagi pemerintah untuk menetapkan terlebih dahulu KTUN tertulis sebagaimana yang diminta oleh para pemohon baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara elektronik untuk memutuskan akses.

Sebab proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin lebih cepat dari sebaran muatan informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang.

Anwar menyebut, dalam putusan MK ini dari sembilan hakim konstitusi terdapat dua hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda. Adapun dua hakim tersebut ialah Saldi Isra dan Suhartoyo.

Selanjutnya: Sidang uji formil, ahli sebut pembentukan UU Cipta Kerja tidak cacat formil

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi