MK: Pemenang pilpres peraih suara terbanyak



JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan, calon presiden dan wakil presiden peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 ini berhak menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2014- 2019.  Keputusan ini mereka keluarkan dalam sidang putusan uji Materi Pasal 159 ayat 1  UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 159  ayat 1 UU tentang Pemilihan Presiden tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak diberlakukan untuk dua pasangan calon. Menurut Mahkamah, pasal tersebut harus dimaknai bila calon yang mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden melebihi dua pasang. Artinya, jika pemilihan presiden hanya diikuti oleh dua calon saja, maka pasangan yang terpilih adalah pasangan yang mendapatkan suara terbanyak. Sementara itu, dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh M Alim, Hakim Konstitusi, Mahkamah mengatakan bahwa walaupun nantinya suara terbanyak tersebut nantinya tidak memenuhi syarat sedikitnya di 20% suara di setiap propinsi yang tersebar di setengah jumlah propinsi di tanah air, suara terbanyak tetap bisa digunakan untuk menentukan kemenangan calon presiden. Sebab, pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh gabungan beberapa partai politik tersebut sudah memenuhi prinsip keterwakilan seluruh masyarakat Indonesia. "Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi," kata Alim di Jakarta Kamis (3/7). Sejumlah pengacara yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi mengajukan uji materi  terhadap Pasal 159 ayat 1 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Mereka menilai bahwa keberadaan pasal yang mengatur bahwa untuk memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden pasangan calon terpilih harus memperoleh suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia tidak jelas. Sebab, ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara rinci berapa pasangan yang diatur dengan pasal tersebut. Forum memandang, ketidakpastian tafsir tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian, terutama bila melihat calon presiden dan wakil presiden tahun 2014 yang hanya terdiri dari dua pasang saja. Mereka menilai, kalau dibiarkan ketidakjelasan tersebut bisa menimbulkan kekosongan hukum, memicu pemilu berulang. Sementara itu Andi M Asrun, Ketua Forum tersebut menilai bahwa putusan MK tersebut telah memberikan kepastian hukum. "Kami apresiasi MK, kalau ini tidak diputuskan seperti tadi, bisa terjadi pengulangan pemilu, kalau itu terjadi, bisa terjadi kondisi yang tidak diinginkan, termasuk pemborosan anggaran," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie