MK putuskan efisiensi tidak bisa jadi alasan PHK



JAKARTA. Perusahaan tak boleh sembarang lagi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawainya. Terlebih, bila PHK itu hanya berdalih embel-embel demi efisiensi perusahaan.

Itulah poin utama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi ayat 3 Pasal 164 Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, kemarin. Uji materi ini diajukan mantan karyawan Hotel Papandayan Bandung yang di-PHK dengan alasan renovasi hotel.

Mahkamah Konstitusi memang tak mencabut ayat yang mengatur ketentuan PHK tersebut. Namun, MK menegaskan penafsiran penjelasannya. Maklum, selama ini penjelasan ayat itu masih abu-abu sehingga memicu perbedaan penafsiran.


Nah, lewat putusannya, MK menyatakan, perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK bila perusahaan tersebut tutup permanen. Dengan kata lain, perusahaan yang hanya tutup sementara tidak boleh memecat pegawainya. "Alasan efisiensi saja tidak dapat dijadikan alasan PHK," tandas Mahfud MD, Ketua MK.

MK berpendapat, PHK merupakan pilihan terakhir efisiensi perusahaan. Perusahaan bisa melakukan PHK asalkan sudah menempuh berbagai upaya efisiensi seperti yang tertuang di beleid ketenagakerjaan. Antara lain; pengurangan upah dan fasilitas pekerja tingkat atas; mengurangi shift kerja; menghilangkan kerja lembur; mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja; dan merumahkan pekerja secara bergilir.

Asep Suhiyat, Ketua Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayan, bersyukur dengan keputusan MK. "Putusan ini akan menyelamatkan nasib jutaan pekerja di Indonesia," tuturnya.

Khamid Istakhori, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Nasional juga menyambut baik putusan MK itu karena memperkuat posisi pekerja. Konsekuensi atas putusan itu adalah setiap perusahaan tidak bisa semena-mena melakukan PHK.

Mau tak mau, setiap perusahaan harus menempuh berbagai efisiensi, termasuk memotong gaji direksi dan penghematan lain, sebelum melaksanakan PHK. "Selama ini banyak perusahaan berdalih efisiensi dan langsung main PHK begitu saja," tandasnya.

Sebaliknya, Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) keberatan atas putusan MK tersebut. Ia menilai, MK hanya mempertimbangkan kepentingan pekerja.

Padahal, kata dia, efisiensi perusahaan lewat jalur PHK sebenarnya bertujuan menyelamatkan kelangsungan bisnis dan kepentingan yang lebih besar. Perusahaan yang hampir bangkrut, menurut Ade, ibarat kapal yang tengah oleng karena terlalu berat mengangkut barang dan ratusan orang. Adalah pilihan logis jika kapal itu menurunkan sejumlah penumpang saat singgah di pelabuhan transit demi mencegah kapal karam di perjalanan berikutnya. "Kalau tidak, kapal bisa tenggelam dan merugikan semua," kata Ade.

Toh, begitu pengusaha tak bisa berbuat banyak. Djimanto, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menilai, keputusan MK itu mengikat siapa pun. Suka tidak suka, pengusaha harus mematuhi MK soal ketentuan PHK.

Ia sendiri berpendapat, PHK memang sebaiknya jalan terakhir dan dilakukan ketika perusahaan benar-benar tutup permanen. "Untuk efisiensi pun tidak bisa pemecatan sembarangan," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.