JAKARTA. Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Akbar Faizal mengatakan, tiga anggota MKD dari Fraksi Golkar meminta agar kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto ditutup. Menurut Akbar, permintaan ini awalnya disampaikan oleh Wakil Ketua MKD Kahar Muzakir dalam rapat pleno MKD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/12) siang. Lantas, dua anggota MKD lainnya, Adies Kadir dan Ridwan Bae, langsung mendorong hal yang sama.
"Pak Kahar Muzakir minta
case closed dan mendapat pembenaran dari anggota Golkar lain," kata Akbar mengungkapkan hasil rapat tertutup yang tengah diskors. Akbar mengatakan, alasan mereka hendak menutup kasus ini disebabkan bukti rekaman percakapan antara Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin tidak utuh. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said hanya menyerahkan rekaman percakapan selama 11 menit, sementara pertemuan itu berlangsung 120 menit. Namun, menurut Akbar, permintaan untuk menutup kasus Novanto ini tidak mendapat dukungan dari semua fraksi yang ada di MKD. Sejumlah fraksi memang masih mempermasalahkan bukti rekaman itu. Namun, mereka tidak setuju jika hanya karena alasan rekaman yang tak utuh, kasus ini harus ditutup. "Saya jujur saja tidak nyaman dengan kondisi ini," ujar Akbar. Kahar Muzakir saat dikonfirmasi enggan berkomentar. "Sesuai tata beracara, saya tak boleh mengungkapkan hasil rapat tertutup," ujar Kahar. Adapun Ridwan Bae dan Adies Kadir membantah fraksinya hendak menutup kasus ini. Kendati demikian, mereka mengakui masih mempermasalahkan rekaman yang tidak utuh serta
legal standing Sudirman Said sebagai pelapor. "Saya tidak mendengar Pak Kahar
ngomong seperti itu (ingin menutup kasus)," ucap Adies. Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR Bambang Soesatyo sebelumnya mengaku menyesalkan sikap anggotanya di MKD yang hendak menganulir keputusan MKD untuk membawa kasus Novanto ke persidangan. Menurut Bambang, hal tersebut bertentangan dengan sikap Fraksi Golkar yang mendorong agar kasus pencatutan nama Kepala Negara itu dibuka seterang-terangnya di persidangan. "Pesan kami, jaga marwah Partai Golkar agar tidak ikut terseret jadi
public enemy," kata Bambang.
Selain di ranah etika, kasus tersebut juga masuk ke ranah pidana. Kejaksaan Agung mulai mengumpulkan bahan keterangan perkara tersebut. Unsur pidana yang didalami penyidik adalah dugaan permufakatan jahat yang mengarah ke tindak pidana korupsi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). (Ihsanuddin) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia