KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT MNC Energy Investments Tbk (
IATA) akan menerbitkan obligasi, sukuk, dan/atau surat utang bernilai Rp 1,5 triliun. Rencana Transaksi akan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang akan diselenggarakan pada tanggal 16 Juni 2023. IATA berencana menggunakannya untuk memperkuat struktur permodalan dan keuangan Perseroan, termasuk namun tidak terbatas pada cadangan peningkatan modal kerja Perseroan dan/atau anak perusahaan Perseroan, dan/atau digunakan untuk melakukan pelunasan atas utang-utang IATA dan untuk perluasan kegiatan usaha Perseroan.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan, penerbitan obligasi itu sejalan dengan target IATA untuk peningkatan produksi batubara hingga 7 juta MT dan pendapatan mencapai US$ 350 juta pada akhir tahun 2023.
Baca Juga: Perkuat Permodalan, MNC Energy Investments (IATA) Terbitkan Obligasi Rp 1,5 Triliun “Kedua target itu tentu membutuhkan peningkatan kapasitas yang signifikan, sehingga cukup wajar jika mencari sumber dana eksternal,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (11/5). Selain rencana penerbitan obligasi, kata Pandhu, IATA juga berencana menerbitkan saham baru sebanyak-banyaknya 10% dari saham beredar saat ini.
Dengan demikian, pendanaan perseroan sebagian besar akan bersumber dari obligasi atau surat utang. Hal ini dapat meningkatkan risiko karena meningkatnya beban utang, sehingga manajemen juga perlu lebih berhati-hati dalam memperhitungkan
cash flow. “Bisnis di sektor batubara ini memiliki risiko yang cukup besar, karena terdapat fluktuasi harga yang signifikan,” paparnya.
Di era suku bunga tinggi, IATA perlu menawarkan obligasi dengan imbal hasil yang relatif tinggi supaya dapat menarik para investor. Hal ini merupakan cost bagi IATA yang perlu diperhitungkan dengan matang.
Baca Juga: ASII Hingga EMTK, Simak Rekomendasi Saham Emiten Holding yang Layak Koleksi Sebab, secara historis, banyak emiten batubara lain yang sangat berambisi dalam mendongkrak kinerja, namun sayangnya tidak berjalan sesuai rencana. “Kegagalan rencana itu terjadi karena harga batubara berangsur turun, sehingga sulit mempertahankan kinerja. Bahkan, beban utang yang timbul dari obligasi justru semakin menggerus laba,” tuturnya.
Editor: Noverius Laoli