KONTAN.CO.ID - JAKARTA. MNC Group kembali menggelar aksi korporasi, kali ini melalui PT MNC Energy Investments Tbk (
IATA). Dalam waktu dekat, IATA dikabarkan akan melakukan
rights issue guna melunasi Surat Sanggup (Promissory Notes) yang diterbitkan sebagai bagian dari transaksi akuisisi 93,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari PT MNC Investama Tbk (
BHIT). IATA, yang dahulu bernama PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk memutuskan untuk mengubah kegiatan bisnis utamanya dari pengangkutan udara niaga menjadi perusahaan investasi dan perusahaan induk, khususnya terkait industri batubara. Nah, akuisisi saham BCR tersebut menjadi langkah IATA untuk mewujudkan rencananya mengubah bisnis utama perusahaan.
Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai, pada dasarnya IATA bukan bagian dari bisnis utama MNC Grup yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo. Sejauh ini, MNC Group memiliki tiga bidang usaha strategis, yakni media, jasa keuangan, dan entertainment hospitality. “Di luar itu, MNC Group juga punya bisnis kecil-kecil, salah satunya IATA,” ujar dia, Kamis (10/2). Bisnis IATA memang tidak menguntungkan. Perusahaan ini sebelumnya bergerak di bidang penerbangan non komersial (carter) yang notabene pangsa pasarnya tidak besar. Alhasil, perusahaan tersebut terus merugi sejak 2008 sampai 2021.
Baca Juga: Berganti Nama Jadi MNC Energy Investments, IATA Akan Fokus Kembangkan Bisnis Batubara Mengutip laporan keuangan per kuartal III-2021, pendapatan usaha IATA tumbuh 15,12% (yoy) menjadi US$ 7,23 juta. Namun, perusahaan ini mengalami pembengkakan rugi bersih yang diatribusikan ke entitas induk 118,69% (yoy) menjadi US$ 4,68 juta. Dengan performa seperti itu, kata Teguh, saham IATA terus terpuruk dan sempat masuk ke jajaran emiten saham gocap. Para pemegang saham IATA juga terus melepas kepemilikannya, sehingga menjadi minoritas di perusahaan tersebut. Tak ayal, saat ini porsi kepemilikan saham IATA didominasi oleh investor publik sebanyak 75,22%. Sementara sisanya dimiliki oleh PT Catur Pratama Sejahtera (8.76%), PT Global Transport Service (8,09%), dan Oxley Capital Investment Ltd (7,93%). IATA pun mencoba berbenah dengan mengakuisisi mayoritas saham BCR yang sebenarnya masih dimiliki oleh MNC Group, yakni BHIT. BCR sudah berdiri sejak tahun 2010 lantaran kala itu MNC Group memandang bisnis batubara sedang booming di Indonesia. Saat ini, BCR juga tengah diuntungkan oleh tren kenaikan harga batubara global. Alhasil, ini menjadi momen yang tepat bagi MNC Group untuk memindahkan saham BCR dari BHIT ke IATA, sehingga perusahaan tersebut lebih fokus menggarap bisnis batubara dan tidak lagi membesarkan bisnis penerbangannya.
Baca Juga: MNC Energy Investments (IATA) akan Gelar Rights Issue dalam Waktu Dekat “Jadi ini seperti memindahkan dari kantong kanan ke kantong kiri, karena semua entitas yang terlibat dalam transaksi masih dimiliki oleh MNC Group,” ungkap Teguh. Keputusan IATA yang menggelar
rights issue adalah untuk melunasi Surat Sanggup atas pengambilalihan saham BCR pun dianggap tepat. Sebab, mekanisme dan persyaratan
rights issue relatif lebih mudah dipenuhi, ketimbang harus melakukan upaya lain misalnya dengan Initial Public Offering (IPO). Padahal, keduanya sama-sama bertujuan untuk menggalang dana publik di pasar modal. Dengan porsi investor publik yang besar, IATA tetap berpeluang sukses melaksanakan
rights issue. Momentum tren kenaikan harga batubara juga dapat menjadi sentimen positif bagi IATA yang harga sahamnya berpotensi ikut naik selama periode
rights issue. Ditambah lagi apabila IATA bisa menetapkan harga
rights issue-nya di bawah harga saham di pasar, sehingga terkesan murah di mata investor. “Investor kemudian akan menebus harga saham
rights issue tersebut dan IATA bisa ambil untung dari aksi korporasi ini,” imbuh Teguh.
Meski secara bisnis IATA akan diuntungkan oleh tren harga batubara yang meningkat, Teguh menilai bahwa pada dasarnya masih banyak saham emiten batubara yang lebih menjanjikan bagi investor, terutama dari emiten yang memang sudah matang di dalam industri tersebut.
Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada menambahkan, dengan adanya BHIT sebagai pembeli siaga, seharusnya agenda
rights issue IATA tetap bisa berjalan mulus. Sebab, pembeli siaga ini akan menalangi kekurangan dana apabila IATA belum memenuhi target kebutuhan dana dari
rights issue tersebut. Ke depan, Reza memperkirakan bahwa harga saham IATA di pasar kelak akan menyesuaikan harga saham
right issue-nya. Maka, jika terjadi penurunan harga, ini merupakan hal yang wajar sebagaimana aksi
rights issue oleh emiten pada umumnya. “Yang perlu dipertimbangkan adalah prospek dan rencana kerja dari manajemen terhadap pengembangan bisnis perusahaan, sehingga
value perusahaan tersebut dapat meningkat di masa depan,” jelas dia, hari ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari