MNC Sekuritas: IHSG berpotensi terkoreksi wajar dalam jangka pendek



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspektasi atas kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) untuk menurunkan kebijakan suku bunga acuan makin dinanti oleh para pelaku pasar. Ekspektasi ini berhembus kian besar di global dipicu dari kondisi perang dagang yang memanas dan risiko dari resesi ekonomi global.

Melihat kondisi tersebut, Kepala Riset MNC Sekuritas, Thendra Crisnanda menilai, secara keseluruhan pasar Indonesia saat ini masih ditopang beberapa isu positif. Pertama, peningkatan rating oleh lembaga pemeringkat utang S&P. Kedua, meredanya ketegangan atas kondisi politik usai pemilu. Ketiga, ekspektasi positif atas potensi capital inflow untuk pasar berkembang (emerging market) dengan adanya rencana penurunan suku bunga The Fed yang dapat terjadi lebih cepat.

Keempat, penurunan harga minyak dunia mendekati level US$ 50 per barel. “Faktor positif tersebut mendorong penguatan nilai tukar rupiah dan pasar saham Indonesia saat ini,” ujar Thendra kepada Kontan.co.id, Selasa (11/6).


Menurut Thendra, potensi penurunan suku bunga acuan The Fed terbuka lebar saat ini. Berdasarkan data Bloomberg, prediksi penurunan suku bunga The Fed pada bulan September 2019 telah mencapai 94%. Pelonggaran kebijakan suku bunga akan direspons positif oleh pasar,

Lebih lanjut, Thendra menilai bahwa di kondisi tersebut, sektor yang akan paling berdampak atas pelonggaran kebijakan suku bunga adalah sektor properti. Pihaknya menjagokan CTRA, BSDE, BEST untuk sektor properti.

Lebih lanjut pihaknya mencermati bahwa di luar faktor penopang positif lainnya dinilai telah diekspektasikan oleh pasar sebelumnya. Euforia peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini bersifat sementara karena merespons penurunan IHSG yang berlebihan yang terjadi sebelumnya hingga ke level 5.767. Alhasil, ada potensi koreksi wajar untuk IHSG selanjutnya.

MNC Sekuritas memproyeksikan IHSG berpotensi terkoreksi wajar hingga ke level 6.150-6.210 dalam jangka pendek. Itu disebabkan oleh faktor ketidakpastian atas perang dagang, sinyal resesi ekonomi global dan potensi kembali memburuknya defisit neraca dagang atas pola historis pembayaran dividen dan hutang luar negeri Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati