KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mewajibkan seluruh kendaraan bermotor di Indonesia, baik mobil ataupun motor mengikuti asuransi
third party liability (TPL) mulai Januari 2025 mendatang dinilai oleh Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mirip dengan skema Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Informasi saja, asuransi TPL memberikan perlindungan atas tuntutan kerugian yang dialami oleh pihak ketiga yang terlibat dalam suatu kecelakaan. "Mirip Tapera, karena dia kan langsung wajib. Padahal asuransi itu kan opsional, artinya pilihan atau sukarela. Kalau pemerintah mau bikin ini wajib atau mandatori, artinya harus ada syarat-syarat yang ketat," ungkap Trubus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (21/7).
Selain penegasan dalam kewajiban membayar asuransi. Trubus juga mengatakan penerapan kebijakan ini dinilai belum tepat jika dilakukan dalam waktu dekat. "Kalau merujuk pada Pasal 39 A yang tertuang di UU No 4, kan disebutkan pemerintah dapat bentuk asuransi untuk masyarakat tertentu. Berarti tidak harus tahun 2025 (diwajibkan) karena ini kan kemungkinan, jadi bisa iya, bisa enggak," ungkap Trubus. Untuk diketahui, mandat pembentukan program asuransi wajib tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Amanat ini khususnya termaktub dalam pasal 39 A.
Baca Juga: Ini Penjelasan AAUI Terkait Program Asuransi Wajib untuk Kendaraan Mengutip pasal 39 A, dijelaskan bahwa pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai kebutuhan dan dapat ditunjuk oleh pemerintah kepada kelompok tertentu. Trubus menambahkan, kategori masyarakat yang harus membayar asuransi juga harus jelas. Juga dengan kategori dari masing-masing kendaraan yang dimiliki. "Berarti dalam kasus ini masyarakat tertentu yang pemilik kendaraan. Kendaraan itu jenisnya ada dua, kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Jadi pemerintah tidak semata-mata menarik premi, tetapi juga memberi perlindungan kepada mereka yang punya kendaraan tapi secara ekonomi tidak mampu," imbuh dia. Trubus juga memprediksi kebijakan ini akan menjadi beban bagi masyarakat jika ditetapkan secara menyeluruh. Sementara masyarakat selama ini juga sudah membayar asuransi Jasa Raharja. "Jadi ini yang menurut saya harus dijelaskan, kaitan kewajiban asuransi ini dengan apa," ungkap dia. Dia menambahkan, pemerintah juga harus bisa menjelaskan secara detail terkait perusahaan asuransi yang akan menarik dan mengelola premi asuransi dan alasan penunjukannya. "Apakah Jasa Raharja lagi atau ada asuransi lainnya lagi, artinya membentuk asuransi baru lagi atau kerja sama dengan asuransi swasta," ungkapnya.
Baca Juga: Asuransi Wajib Kendaraan Jadi Tambahan Beban Sementara dari sudut pandang pengusaha, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengatakan kewajiban asuransi ini mungkin akan berpengaruh pada penurunan penjualan tapi tidak dalam jumlah besar.
"Mungkin ada pengaruhnya tapi tidak terlalu signifikan," ungkap Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto, Minggu (21/07). Jongkie menambahkan, secara persentase penjualan kendaraan bermotor melalui kredit atau
leasing berada pada kisaran 60%-70% sedangkan sisanya secara kontan atau
cash. "Penjualan melalui kredit atau
leasing kira-kira 60% hingga 70% dan biasanya semua kendaraan tersebut harus diasuransikan. Kalau yang lain harus diasuransikan, berarti tinggal 30%-40%. Dan yang bayar tunai pasti sanggup juga untuk bayar premi asuransinya," tutup Jongkie. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati