Mobilitas masyarakat di permukiman makin tinggi, ini kata pakar kesehatan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian wilayah Indonesia masih menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 seiring tingginya angka kasus Covid-19. Selama masa tersebut, terdapat kecenderungan bahwa mobilitas masyarakat terkonsentrasi di kawasan permukiman.

Berdasarkan laporan Google Mobility, selama PPKM Darurat hingga PPKM Level 4, telah terjadi penurunan mobilitas masyarakat di tempat kerja. Sebaliknya, mobilitas masyarakat di kawasan permukiman justru mengalami peningkatan.

Pakar Kesehatan yang juga Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menilai, tingginya mobilitas masyarakat di kawasan permukiman kemungkinan terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat terkait risiko tertular virus Corona dari orang-orang di sekitar. Jika dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin justru kawasan permukiman tersebut menjelma jadi klaster penyebaran Covid-19.


Baca Juga: Catat! Ini syarat perjalanan dalam negeri terbaru untuk PPKM Level 4-3 dan Level 2-1

“Sebagian masyarakat mungkin hanya sekadar ikut saja anjuran tinggal di rumah, tapi kurang menjiwainya sehingga mereka belum benar-benar paham bahaya Covid-19,” ujar dia, Selasa (27/7).

Di samping itu, tata letak permukiman juga bisa menjadi faktor yang membuat mobilitas masyarakat di kawasan tersebut masih terbilang tinggi di masa PPKM. Sebagai contoh, Jakarta memiliki beberapa kawasan permukiman padat penduduk yang mana satu ruangan bisa dihuni oleh banyak orang.

Lantas, ketika sebagian masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk harus bekerja dari rumah (work from home/WFH), hal ini justru menciptakan kondisi yang kurang ideal bagi mereka. Rumah yang mereka huni tetap rawan menjadi tempat penyebaran virus karena ukurannya kecil dan dihuni oleh banyak orang. Alhasil, sebagian masyarakat ini memilih keluar sejenak di sekitar permukiman.

“Ini masalah yang cukup pelik karena sulitnya menerapkan protokol kesehatan di rumah-rumah padat penduduk,” ungkap dia.

Baca Juga: Studi anyar: Konsumsi kopi dan sayur menurunkan risiko terpapar virus corona

Menurut Hasbullah, untuk menyelesaikan hal seperti itu butuh sebuah solusi jangka panjang. Hal yang paling memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat adalah pemerintah mesti bisa mensosialisasi bahaya Covid-19 dan pencegahannya ke seluruh lapisan masyarakat. Jangan sampai ada informasi yang tersampaikan secara setengah-setengah.

Hasbullah pun menilai, tak sedikit orang-orang yang masih keukeuh untuk nongkrong di depan rumah atau berkeliaran tanpa urgensi adalah orang-orang yang punya stigma tersendiri terhadap Covid-19. Masyarakat seperti ini juga bisa jadi tidak peduli dengan bahaya Covid-19 meski mereka mengetahuinya.

“Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari agama, politik, sosial, dan budaya. Dari situ pemerintah juga bisa melakukan penyesuaian dalam mensosialisasikan pencegahan dan penanganan Covid-19 kepada masyarakat,” pungkas dia.

#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitanganpakaisabun

Selanjutnya: Bahan baku vaksin Covid-19 dari Sinovac kembali datang sebanyak 21,2 juta dosis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi