Jakarta. Pengalaman kurang mengenakkan pernah menimpa Andi Permana saat menggunakan keretaapi commuter line. Ketika itu, dia tengah mengantre membeli tiket di Stasiun Tanah Abang untuk tujuan Tangerang. Lantaran bertepatan dengan jam pulang kantor, antrean di loket karcis mengular panjang. Ia lantas membayar tiket untuk satu orang dengan uang pecahan Rp 50.000. Karena antrean yang panjang, Andi merasa tidak enak hati menghabiskan waktu untuk menghitung uang kembalian di depan petugas loket. Sambil berjalan perlahan menuju peron, ia baru menghitung uang kembalian. Namun, jumlahnya uang kembaliannya ternyata kurang. Andi pun hanya bisa pasrah meratapi nasibnya tersebut. Untungnya, itu kejadian pertama dan terakhir yang dialaminya. Maklum, sejak setahun terakhir, karyawan sebuah perusahaan swasta itu beralih menggunakan kartu multitrip yang disediakan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). “Tinggal isi saldo di loket stasiun, terus tap in kartunya di pintu masuk. Kalau saldonya habis, tinggal isi lagi. Jadi, lebih gampang dan tak bakal salah kembalian,” katanya. Model transaksi non-tunai dengan kartu prabayar memang kian berkembang, terutama di sektor transportasi. PT KCJ misalnya, terus mengembangkan sistem pembayaran tanpa uang tunai ini dengan menggandeng perbankan. Sejak 8 Desember 2013, pengguna commuter line sudah bisa menggunakan kartu Flazz dari Bank Central Asia (BCA) sebagai alat transaksi pembelian tiket.
Flazz difungsikan sebagai kartu akses masuk ke peron stasiun KRL Jabodetabek. Cukup di-tap in di stasiun keberangkatan dan stasiun tujuan, saldo pemilik kartu Flazz akan langsung dipotong sesuai tarif angkutan. Belakangan, sejak medio Juni tahun ini, KCJ memperluas model pembayaran itu dengan menggandeng tiga bank pelat merah, yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sama seperti Flazz BCA, pengguna kartu Tap-Cash BNI, Brizzi BRI, dan e-Money Mandiri bisa menggunakan uang plastik tersebut untuk membeli tiket commuter line. Potensi yang bisa digarap bank penyedia e-money memang cukup besar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), potensi transaksi uang elektronik di commuter line mencapai Rp 1,4 triliun per tahun. Dasar perhitungannya, ada 400.000 penumpang saban hari. Kenyataannya, potensinya malah lebih besar lagi. Pasalnya, saat ini saja kereta commuter line sudah mengangkut sekitar 617.000 penumpang. Targetnya, pada tahun 2018, jumlah penumpang yang diangkut naik dua kali lipat menjadi 1,2 juta penumpang per hari. Pengguna commuter line yang sudah menggunakan kartu prabayar berupa kartu multitrip sudah mencapai 60%. Sisanya masih membeli tiket di loket dan menggunakan kartu single trip. “Karena masih baru, yang menggunakan e-money dari bank 3,5% dari total transaksi. Tapi ini akan terus berkembang,” kata Tri Handoyo, Dirut PT KAI Commuter Jabodetabek. Bagi PT KCJ, penggunaan emoney juga memberikan keuntungan finansial. Bank yang terlibat kerjasama dengan mereka membayar sejumlah fee. “Fee-nya setiap satu tahun, bukan per transaksi,” kata Tri, tanpa bersedia menyebut besaran fee yang diperoleh. Sukses ketika dipaksa PT Transjakarta Busway juga menempuh langkah serupa. Sejak Januari tahun lalu, perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu menjalin kerjasama dengan Bank DKI, Mandiri, BRI, BNI, dan BCA untuk menyediakan layanan e-icketing. Belakangan, Bank Mega ikut nimbrung menjadi penyedia jasa tiket elektronik Transjakarta. Per 11 Agustus lalu, Transjakarta mulai mewajibkan penggunaan transaksi non-tunai dengan kartu prabayar di seluruh halte di koridor 1 jurusan Blok M-Kota dan 11 halte utama koridor lain. Secara bertahap hingga akhir tahun ini, ditargetkan seluruh koridor Transjakarta sudah menerapkan sistem eticketing. Meski baru berlaku wajib di satu dari 12 koridor, jumlah pengguna kartu e-ticketing ini hampir separuh dari total pengguna Transjakarta yang mencapai 330.000–350.000 penumpang per hari. “Pengguna kartunya sudah 47% dari total pengguna harian Transjakarta. Padahal yang lewat koridor 1 hanya 15%-18% dari total pengguna Transjakarta,” kata Antonius Kosasih, Direktur Utama Transjakarta. Antonius menduga, tingginya penggunaan kartu prabayar ini lantaran Transjakarta tidak lagi memberikan opsi lain bagi pengguna, misalnya menggunakan tiket kertas. Asal tahu saja, ketika masih bersifat sukarela, pengguna e-money perbankan cuma 6% dari total penumpang harian moda transportasi darat di Jakarta tersebut. Meski memiliki basis pengguna yang besar, Antonius mengaku, pihaknya tidak mendapatkan keuntungan fi nansial. Penerapan transaksi non-tunai di Transjakarta lebih untuk melayani masyarakat dan mendukung gerakan non-tunai yang dicanangkan Bank Indonesia. Potensi masih besar Di sektor transportasi, pionir penerapan sistem pembayaran non-tunai sejatinya adalah PT Jasa Marga Tbk. Operator jalan tol itu sudah menyediakan gerbang tol otomatis (GTO) yang bisa diakses dengan e-Toll Card milik Bank Mandiri sejak tahun 2009. Kedua pihak terikat kerjasama hingga tahun 2018. Setiap hari ada 3,7 juta kendaraan yang melakukan transaksi di tol Jasa Marga. Cuma, yang bertransaksi dengan e-Toll Card baru sekitar 10%. Di beberapa pintu tol yang terhubung dengan kawasan perumahan elite, persentasenya sudah mencapai 20% dari total transaksi. Misalnya di gerbang tol Pantai Indah Kapuk, Pondok Ranji, dan pintu tol Bintaro. Di masa depan, pengguna e-money di jalan tol bakal berkembang. Pasalnya, Bank Mandiri sudah meneken kesepakatan dengan BRI dan BNI untuk menggarap transaksi non-tunai di gerbang tol. Jika sesuai target, pada akhir tahun ini, pengguna kartu Brizzi BRI dan Tap-Cash BNI bisa melintasi GTO. Dari sisi infrastruktur, Jasa Marga terbilang siap. Sekitar 75% dari ruas jalan tol yang dioperasikannya sudah dilengkapi dengan gerbang khusus non-tunai. Kini, Jasa Marga melakukan ujicoba pembayaran non-tunai di beberapa ruas yang menggunakan sistem tol tertutup. Di antaranya Jalan Tol Jagorawi di pintu keluar Bogor dan Ciawi. “Insya Allah, semua jalan tol Jasa Marga sampai akhir tahun ini menyediakan pembayaran non-tunai,” ujar David Wijayatno, Sekretaris Perusahaan Jasa Marga. Potensi terbesar penggunaan transaksi non-tunain yang lain adalah di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Berdasarkan data BI, potensi transaksi pembelian bahan bakar di SPBU mencapai Rp 14,6 triliun saban tahun. Asumsinya pengisian 1,4 liter BBM per kendaraan setiap hari. Namun, sebagian besar transaksi masih dilakukan secara tunai. Padahal, kata Mochamad Ismed, sebagian dari 5.400 SPBU Pertamina di Indonesia sudah dilengkapi dengan mesin electronic data capture (EDC) bagi pengguna kartu debit dan kartu kredit. “Mungkin masyarakat memang merasa lebih mudah menggunakan uang tunai,” kata Ketua II Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) itu. Ismed mengaku, pihaknya tidak melakukan upaya tertentu untuk menggalakkan transaksi non-tunai di SPBU. Tapi, mereka membuka diri jika bank ingin menempatkan mesin EDC di SPBU. “Kami lebih senang kalau pembeli menggunakan uang non-tunai karena sering ada kejahatan perampokan di SPBU,” tukasnya. Peritel tak ketinggalan Transaksi non-tunai juga gencar didorong oleh peritel modern, seperti Alfamart. Menurut Nur Rachman, Corporate Communication General Manager PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, lebih dari 90% dari total 9.187 gerai Alfamart per Juni 2014, sudah dilengkapi dengan mesin EDC. Dus, nasabah kartu debit dan kartu kredit BCA, Mandiri, BNI, dan BRI dapat bertransaksi non-tunai pada mayoritas gerai Alfamart. Selain bank, Alfamart juga bekerjasama dengan Visa dan beberapa perusahaan yang menyediakan layanan e-money, antara lain PT XL Axiata Tbk (XL Tunai), PT Indosat Tbk (Dompetku), PT Telekomunikasi Selular (T-Cash), dan PT Nusa Satu Inti Artha (Doku). Lewat kerjasama dengan banyak penyedia e-money, Alfamart berharap volume transaksi non-tunai di gerai mereka terus meningkat. Meski begitu, “Saat ini transaksi non-tunai masih belum signifikan jika dibandingkan dengan total transaksi,” kata Nur Rachman, tanpa menyebut angka detailnya. Alfamart sendiri terus melakukan sosialisasi e-money di setiap gerai. Termasuk kerjasama promosi dengan penerbit kartu kredit dan kartu debit. “Transaksi non-tunai mempercepat proses aliran dana hasil penjualan masuk ke rekening perusahaan,” katanya. Sedikit berbeda, di gerai Ace Hardware, komposisi transaksi non-tunai dan tunai secara rata-rata sudah fifty-fifty. Menurut Teresa Wibowo, Marketing Communication General Manager Ace Hardware, yang paling banyak digunakan adalah kartu kredit. “Secara rata-rata transaksi di gerai kami tidak terlalu besar, sekitar Rp 300.000 sehingga harusnya bisa menggunakan cash,” katanya. Tingginya penggunaan non-tunai tak lepas dari segmentasi konsumen kelas menengah ke atas yang disasar anak usaha Grup Kawan Lama itu. Maklum, golongan masyarakat ini relatif sudah lebih akrab dengan produk-produk perbankan. Selain itu, tingginya penggunaan kartu kredit lantaran Ace Hardware rajin menggandeng bank untuk menggelar program promosi
cicilan 0% untuk setiap pembelanjaan. Saat ini peritel perkakas dan perlengkapan rumah tangga itu menjalin kerjasama dengan lima bank: BCA, CIMB Niaga, HSBC, Mandiri, dan BNI. Fasilitas transaksi non-tunai dengan kartu kredit ini disediakan di seluruh gerai Ace Hardwar yang berjumlah 107 unit di 31 kota di Indonesia. Cuma, penggunaan kartu kredit tidak merata di semua kota. Di Makassar contohnya, banyak konsumen yang masih belum akrab dengan kartu kredit. Dus, untuk memudahkan konsumen mengakses promosi yang disediakan, Ace Hardware menggandeng lembaga pembiayaan, seperti Adira Finance. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 47 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander