Tidak banyak orang yang sukses merintis usaha dari bawah. Meski harus sabar dengan proses yang panjang, asal mau belajar dan tekun di bidang usaha yang menjadi keahlian, pasti jalan menuju keberhasilan akan terbuka lebar. Perjalanan inilah yang dilalui oleh Moeljadi, yang kini sukses menjadi produsen mesin cuci mobil sekaligus motor robotik di Indonesia.Dalam waktu sebulan, pria kelahiran Banyuwangi, April 1971, ini mampu memproduksi puluhan mesin untuk cuci mobil maupun sepeda motor dengan merek Sato. Tak hanya memasok gerai-gerai pencucian kendaraan tersebut di Indonesia, Moeljadi juga mengirimkan produknya ke Vietnam, Afrika, dan Timur Tengah. Bahkan, pada 2010 lalu, dia juga merintis pabriknya di India.Sejak awal, pria yang besar di Semarang ini memang bertekad menjadi pengusaha, karena menyadari karakternya yang tak suka dikekang. Dia pun memilih melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan di STM Pembangunan, Semarang, jurusan konstruksi mesin. “Saya pilih STM, karena mengajarkan keahlian yang bisa langsung dipakai,” cetus Moeljadi. Namun, setelah lulus, ayah dari tiga anak ini tertarik juga untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, universitas yang menjadi incaran Moeljadi adalah kampus favorit di dalam negeri, semacam Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada. Sayang, Moeljadi tidak lolos saringan ujian masuk. “Karena tidak diterima, saya berpikir untuk langsung bekerja,” jelas dia.Tak patah semangat, pada 1991, Moeljadi segera berangkat ke Jakarta, menyusul kakaknya yang lebih dulu merantau di Ibukota. Dia berharap mendapat pekerjaan dengan upah yang layak. Namun, peruntungan berkata lain. Sesampainya di Ibukota, dia harus mau jadi operator mesin bubut dengan upah Rp 2.800 per hari. Meski merasa gajinya kurang untuk kebutuhan sehari-hari, Moeljadi tetap bertahan. “Saya memang ingin mencari pengalaman,” kenang dia. Untuk menyambung hidup, saat itu, dia mendapat subsidi dari kakaknya. Lantaran tak ingin terus mendapat kucuran subsidi, setelah tiga bulan, Moeljadi pun memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Ternyata, di bengkel yang baru, pekerjaannya tetap sama: operator mesin bubut dengan upah Rp 7.500 per hari. Meski gajinya lebih besar, ia tak betah lama bekerja di situ karena merasa tidak sepaham dengan atasannya. Melihat kondisi ini, sang kakak pun lantas mengajaknya membuka bengkel bubut. Mereka memang tidak mendirikan yang baru tapi menjalankan bengkel bubut yang hampir bangkrut, milik kenalan kakak Moeljadi. Moeljadi pun mulai tertantang. Dia termotivasi untuk mengoptimalkan apa yang tersisa di bengkel tersebut, supaya bisa bangkit lagi. Tak lupa, dia menimba pengalaman sebagai persiapan membuka bengkel bubut sendiri.Fokus di otomotifSetelah tiga tahun mengelola bengkel bersama sang kakak, Moeljadi akhirnya memberanikan diri untuk berusaha sendiri. Berbekal uang Rp 5 juta, hasil tabungannya, dia membeli mobil untuk berkeliling mencari pelanggan. Setelah mendapatkan order, ia menggarapnya di bengkel sang kakak. Pada tahun-tahun awal, Moeljadi bekerja keras mencari pelanggan. Setiap hari, dia berkeliling ke pabrik-pabrik di Jabodetabek, menawarkan pesanan komponen logam atau mesin.Melihat order yang terus meningkat, Moeljadi akhirnya menyewa lahan untuk mendirikan bengkel sendiri. Berbekal uang pinjaman senilai Rp 15 juta, dia membuka bengkel seluas 300 m2 di Duri Kosambi, Jakarta Barat.Karena untung masih tipis, pada tahun kedua, anak ke-7 dari delapan bersaudara ini berutang Rp 15 juta ke kakaknya yang lain. “Waktu itu, saya belum berani pinjam uang di bank karena tak punya aset untuk agunan,” ujarnya.Seiring perjalanan waktu, Moeljadi mulai terpikir untuk mencari jatidiri usahanya. Pada tahun 2000, melihat perkembangan otomotif dalam negeri yang pesat, dia pun berniat menggarap pasar perlengkapan untuk otomotif.Moeljadi berhasil merakit mesin hidraulik untuk cuci mobil. Bahkan, ia mengklaim dirinya sebagai pelopor mesin hi-draulik dalam negeri. “Pada tahun 2000 itu, saingan saya hanya produk impor,” serunya.Mujur, pasar menerima produknya. Puluhan mesin hidraulik ia kirim ke tempat-tempat pencucian mobil saban bulan. Melihat bisnisnya makin maju, dia pun berekspansi dengan menyewa lahan baru yang lebih luas. “Saya juga mulai berani pinjam bank,” kata pria yang suka minum kopi di warteg ini. Popularitas mesin hidraulik mengundang banyak produsen mesin ikut terjun ke bisnis ini. Kondisi ini justru menggugah semangat Moeljadi untuk menciptakan mesin-mesin baru. Pada 2006, dia berhasil membuat mesin cuci robotik, yang kemudian diberi nama Sato Robotic Car Wash. Dia juga menciptakan Robotic Cycle Wash untuk sepeda motor. Semua produk telah dipatenkan Moeljadi.Seiring perkembangan usaha, Moeljadi memindahkan pabriknya ke Cipondoh, Tangerang. Pabrik baru itu menempati lahan seluas empat hektare untuk menampung 45 karyawan. Kapasitas produksi terpasang di pabrik mencapai 30 unit mesin per bulan. Pada 2010, Moeljadi juga membuka pabrik di India, mengingat permintaan dari negeri Bollywood itu cukup besar, yakni 15–20 unit per bulan. Selain India, pasar Sato juga tersebar hingga Afrika, Vietnam, dan Timur Tengah. Produk Sato memang bersaing, karena harganya cukup miring. Harga Robotic Car Wash, misalnya, berkisar Rp 200 juta per unit. “Selain itu, tak makan banyak tempat dan unik bentuknya,” kata dia berpromosi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Moeljadi, sang operator yang jadi produsen mesin
Tidak banyak orang yang sukses merintis usaha dari bawah. Meski harus sabar dengan proses yang panjang, asal mau belajar dan tekun di bidang usaha yang menjadi keahlian, pasti jalan menuju keberhasilan akan terbuka lebar. Perjalanan inilah yang dilalui oleh Moeljadi, yang kini sukses menjadi produsen mesin cuci mobil sekaligus motor robotik di Indonesia.Dalam waktu sebulan, pria kelahiran Banyuwangi, April 1971, ini mampu memproduksi puluhan mesin untuk cuci mobil maupun sepeda motor dengan merek Sato. Tak hanya memasok gerai-gerai pencucian kendaraan tersebut di Indonesia, Moeljadi juga mengirimkan produknya ke Vietnam, Afrika, dan Timur Tengah. Bahkan, pada 2010 lalu, dia juga merintis pabriknya di India.Sejak awal, pria yang besar di Semarang ini memang bertekad menjadi pengusaha, karena menyadari karakternya yang tak suka dikekang. Dia pun memilih melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan di STM Pembangunan, Semarang, jurusan konstruksi mesin. “Saya pilih STM, karena mengajarkan keahlian yang bisa langsung dipakai,” cetus Moeljadi. Namun, setelah lulus, ayah dari tiga anak ini tertarik juga untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, universitas yang menjadi incaran Moeljadi adalah kampus favorit di dalam negeri, semacam Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada. Sayang, Moeljadi tidak lolos saringan ujian masuk. “Karena tidak diterima, saya berpikir untuk langsung bekerja,” jelas dia.Tak patah semangat, pada 1991, Moeljadi segera berangkat ke Jakarta, menyusul kakaknya yang lebih dulu merantau di Ibukota. Dia berharap mendapat pekerjaan dengan upah yang layak. Namun, peruntungan berkata lain. Sesampainya di Ibukota, dia harus mau jadi operator mesin bubut dengan upah Rp 2.800 per hari. Meski merasa gajinya kurang untuk kebutuhan sehari-hari, Moeljadi tetap bertahan. “Saya memang ingin mencari pengalaman,” kenang dia. Untuk menyambung hidup, saat itu, dia mendapat subsidi dari kakaknya. Lantaran tak ingin terus mendapat kucuran subsidi, setelah tiga bulan, Moeljadi pun memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Ternyata, di bengkel yang baru, pekerjaannya tetap sama: operator mesin bubut dengan upah Rp 7.500 per hari. Meski gajinya lebih besar, ia tak betah lama bekerja di situ karena merasa tidak sepaham dengan atasannya. Melihat kondisi ini, sang kakak pun lantas mengajaknya membuka bengkel bubut. Mereka memang tidak mendirikan yang baru tapi menjalankan bengkel bubut yang hampir bangkrut, milik kenalan kakak Moeljadi. Moeljadi pun mulai tertantang. Dia termotivasi untuk mengoptimalkan apa yang tersisa di bengkel tersebut, supaya bisa bangkit lagi. Tak lupa, dia menimba pengalaman sebagai persiapan membuka bengkel bubut sendiri.Fokus di otomotifSetelah tiga tahun mengelola bengkel bersama sang kakak, Moeljadi akhirnya memberanikan diri untuk berusaha sendiri. Berbekal uang Rp 5 juta, hasil tabungannya, dia membeli mobil untuk berkeliling mencari pelanggan. Setelah mendapatkan order, ia menggarapnya di bengkel sang kakak. Pada tahun-tahun awal, Moeljadi bekerja keras mencari pelanggan. Setiap hari, dia berkeliling ke pabrik-pabrik di Jabodetabek, menawarkan pesanan komponen logam atau mesin.Melihat order yang terus meningkat, Moeljadi akhirnya menyewa lahan untuk mendirikan bengkel sendiri. Berbekal uang pinjaman senilai Rp 15 juta, dia membuka bengkel seluas 300 m2 di Duri Kosambi, Jakarta Barat.Karena untung masih tipis, pada tahun kedua, anak ke-7 dari delapan bersaudara ini berutang Rp 15 juta ke kakaknya yang lain. “Waktu itu, saya belum berani pinjam uang di bank karena tak punya aset untuk agunan,” ujarnya.Seiring perjalanan waktu, Moeljadi mulai terpikir untuk mencari jatidiri usahanya. Pada tahun 2000, melihat perkembangan otomotif dalam negeri yang pesat, dia pun berniat menggarap pasar perlengkapan untuk otomotif.Moeljadi berhasil merakit mesin hidraulik untuk cuci mobil. Bahkan, ia mengklaim dirinya sebagai pelopor mesin hi-draulik dalam negeri. “Pada tahun 2000 itu, saingan saya hanya produk impor,” serunya.Mujur, pasar menerima produknya. Puluhan mesin hidraulik ia kirim ke tempat-tempat pencucian mobil saban bulan. Melihat bisnisnya makin maju, dia pun berekspansi dengan menyewa lahan baru yang lebih luas. “Saya juga mulai berani pinjam bank,” kata pria yang suka minum kopi di warteg ini. Popularitas mesin hidraulik mengundang banyak produsen mesin ikut terjun ke bisnis ini. Kondisi ini justru menggugah semangat Moeljadi untuk menciptakan mesin-mesin baru. Pada 2006, dia berhasil membuat mesin cuci robotik, yang kemudian diberi nama Sato Robotic Car Wash. Dia juga menciptakan Robotic Cycle Wash untuk sepeda motor. Semua produk telah dipatenkan Moeljadi.Seiring perkembangan usaha, Moeljadi memindahkan pabriknya ke Cipondoh, Tangerang. Pabrik baru itu menempati lahan seluas empat hektare untuk menampung 45 karyawan. Kapasitas produksi terpasang di pabrik mencapai 30 unit mesin per bulan. Pada 2010, Moeljadi juga membuka pabrik di India, mengingat permintaan dari negeri Bollywood itu cukup besar, yakni 15–20 unit per bulan. Selain India, pasar Sato juga tersebar hingga Afrika, Vietnam, dan Timur Tengah. Produk Sato memang bersaing, karena harganya cukup miring. Harga Robotic Car Wash, misalnya, berkisar Rp 200 juta per unit. “Selain itu, tak makan banyak tempat dan unik bentuknya,” kata dia berpromosi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News