Mogok Freeport berlanjut, negara kehilangan US$ 8 juta per hari



JAKARTA. Timika memanas. Hampir 12.000 buruh dan tenaga kontraktor PT Freeport Indonesia memperpanjang masa mogok kerja. Setelah berencana berhenti mogok kerja pada awal Oktober, awak lapangan Freeport tidak akan beraktivitas sampai 15 November 2011. Juli Parorongan, Juru Bicara Serikat Pekerja Freeport, menegaskan, langkah itu diambil karena Manajemen Freeport masih emoh memenuhi tuntutan buruh.Menurut Juli, Freeport tidak memperhitungkan pertumbuhan keuntungan perusahaan, inflasi, kenaikan bahan pokok, hingga biaya sekolah. Walhasil, anjuran itu dirasa belum berpihak ke pekerja. "Ini kan perusahaan tembaga, emas, dan perak, bukan sepatu. Mereka makin sukses di dunia, tapi pekerja malah melarat.,” keluhnya. Jelas aksi lanjutan menimbulkan kerugian. Juli menggambarkan, Freeport bisa meraup pendapatan Rp 200 miliar - Rp 230 miliar saban hari. Sementara buruh, sejak mogok September lalu mereka tidak menerima upah dasar. "Kami memang rugi, tapi perusahaan jauh lebih rugi," kata dia.Memang, tidak ada tuntutan baru, yang bertambah justru kekecewaan. Saat mogok berlangsung, manajemen justru mengadakan penerimaan karyawan baru. Ironisnya, kata dia, pekerja tersebut bukan dari lokal Papua, melainkan dari Kalimantan, Sulawesi Utara, dan Jawa.

Menurut dia, pekerja baru Freeport bahkan sudah mulai bekerja. Hal itu melanggar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 yang menyebutkan pengusaha dilarang menggantikan pekerja yang mogok dengan pekerja di luar perusahaan. Manajemen Freeport rupanya kecewa dengan langkah serikat pekerja. Menurut Ramdani Sirait, Juru Bicara Freeport, pihaknya telah menawarkan paket yang bagus selama perundingan. Itu merupakan paket terbaik untuk karyawan non staf atau operator lapangan di Indonesia. "Bahkan kami sudah menerima anjuran mediator (Kementerian Tenaga Kerja dan Transportasi) untuk menaikkan upah sebesar 25% dalam dua tahun," kata Ramdani.Kendati begitu, serikat pekerja bersikukuh meminta sistem upah dalam dolar per jam. Menurut dia, itu tidak sesuai dengan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Jelas aksi mogok berpengaruh tidak hanya terhadap pendapatan perusahaan. Tetapi juga penerimaan negara hingga US$ 8 juta per hari. Begitu pula dana pengembangan masyarakat Papua yang mencapai US$ 200.000 setiap hari. Pun, karyawan kehilangan Rp 755.000 per hari. "Jadi semua pihak akan merasakan kerugian ini. Manajemen berharap serikat pekerja menerima anjuran mediator," beber Ramdani.Mengenai penerimaan karyawan baru, itu sesuai dengan kebutuhan perusahaan terkait ekspansi tambang bawah tanah. Sejak awal tahun ini Freeport melaporkan kebutuhan 1.000 tenaga terampil baru ke dinas tenaga kerja setempat.

Kekecewaan buruh soal tidak diberikannya upah, itu sudah sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan. "Karyawan yang tidak bekerja tidak dibayar. Itu makanya kami imbau karyawan segera kembali bekerja," ujar dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini