Momentum KTT G20 dan Peluang Memacu Sistem Pembayaran di Era Digital



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam rangkaian pertemuan negara anggota G20 tahun 2022, salah satu agenda penting yang dibahas adalah inklusi keuangan dan sistem pembayaran di era digital. 

Terkait digitalisasi sistem pembayaran, Indonesia didukung inisiatif Blue Print Sistem Pembayaran (BSPI 2025), yang menjadi game changer untuk upaya pulih bersama dan membangun ekonomi berkelanjutan. 

Ada tiga inisiatif pembayaran digital yang digagas Bank Indonesia (BI) bersama industri nasional, sebagai tindak lanjut BSPI 2025. Ketiganya adalah QRIS, BI Fast dan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).


Deputi Gubernur BI, Aida S. Budiman menyebutkan, BI menghadirkan tiga komitmen untuk mempercepat ekonomi digital dan ekosistem keuangan terintegrasi. 

Pertama, reformasi regulasi untuk mempercepat konsolidasi atas industri pembayaran yang sehat, kompetitif dan inovatif. Kedua, mengembangkan infrastruktur pembayaran yang sarat akan interoperabilitas, interkoneksi dan integrasi. "Ketiga, mengembangkan praktik pasar yang aman, efisien, dan seimbang," kata Aida dalam seminar rangkaian G20 bertema Synergy for Inclusive and Sustainable Economic Growth, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan catatan BI, saat ini layanan QRIS yang banyak dipakai UMKM sudah mencapai 15 juta pengguna di Indonesia. Tahun ini BI menargetkan ada tambahan 12 juta pengguna baru.

Aida menekankan dua hal pokok mengenai digitalisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Pertama, digitalisasi telah memungkinkan kita untuk memiliki kegiatan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Manfaatnya bersifat luas bagi semua orang, bagi masyarakat umum dan mampu mengurangi ketimpangan. Kedua, sinergi dan kolaborasi antara otoritas dan industri menjadi kunci dalam memetik manfaat dari ekosistem ekonomi dan keuangan digital.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira optimistis di forum G20 Indonesia bisa membuka peluang besar dalam implementasi sistem pembayaran lintas negara. Ihwal implementasi pembayaran digital, Indonesia akan diuntungkan ketika penggunaan QRIS sudah semakin meluas.

"Melihat fenomena pengembangan QRIS, tentunya akan positif terutama di negara-negara ASEAN. Dari sisi wisatawan, ini akan menarik wisatawan karena mereka tidak perlu lagi konversikan ke uang kertas," kata dia. 

Bhima mengatakan, dengan kerja sama bersama negara-negara G20, implementasi layanan QRIS akan sangat mendorong pertumbuhan wisatawan mancanegara di Indonesia, terutama dari Tiongkok.

Sementara dari sisi ritel, layanan QRIS dinilai dapat mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia. "Sehingga pengembangan layanan ini memang punya potensi besar, hanya saja perlu ada strandarsisasi yang luas antara negara-negara G20," ungkap dia. 

Beberapa hal yang perlu diperketat antara lain terkait keamanan data, keandalan sistem pembayaran dan standardisasi platform swasta dengan memenuhi kualifikasi tertentu. Selain itu, sistem keamanan untuk money laundry atau pencucian uang perlu dicermati dan dimitigasi. 

"Syarat-syarat itu kalau bisa difinalisasi secara cepat dan momentum G20 bisa mendorong percepatan transaksi pembayaran cross border. Karena selama ini pengembangannya hanya di ASEAN dan bisa diperluas ke skala G20. Bahkan bisa 20 kali lipat dibandingkan ASEAN," sambung Bhima. 

Selain melalui layanan QRIS dari BI, Bhima melihat pemerintah bisa bekerja sama dengan pemain financial technology (fintech) dalam implementasi pembayaran cross border. Misalnya, bebas biaya atau tarif yang relatif murah untuk layanan transfer antar bank dan negara. 

"Kalau diterapkan di skala internasional, misalnya mereka membeli barang dari Indonesia dengan menggunakan layanan switching antar bank secara realtime, saya melihat ini bisa menjadi peluang besar juga," imbuh dia.

Teuku Riefky, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas  Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), menilai pengembangan sistem pembayaran digital lintas negera ini memiliki peluang sangat besar. 

Bila Indonesia dapat mengimplementasikannya, hal ini akan meningkatkan integrasi dan efisiensi dari sistem corss border payment. 

"Kalau bisa dikoordinasikan lebih baik, ini akan membantu efisiensi pasar keuangan serta dapat meningkatkan skala operasinya," ungkap dia kepada Kontan.co.id, Selasa (25/10). 

Riefky menambahkan, dalam mengimplementasikan sistem pembayaran cross border tersebut, perlu ada penyesuaian atau kesamaan taksonomi atau metode penerapan dan keseragaman regulasi. 

"Perlu ada penyesuaian diberlakukan untuk meminimalkan dampak risiko makroprudential yang mungkin muncul dari adanya sistem ini. Pengawasannya harus lebih ketat," sambung dia. 

Disamping risiko itu, dia melihat ada dampak positif dalam implementasi pembayaran digital di mana dapat mendorong percepatan transaksi dan efisiensi. 

Sedangkan dampak negatifnya, jika tidak dimitigasi dengan baik, menurutnya akan menimbulkan kesenjangan yang jauh dan berpotensi memunculkan pengelompokan masyarakat yang memiliki akses pembayaran digital dengan mereka yang tidak memiliki. 

"Hal ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan infrastruktur digital yang kurang memadai dan semacamnya. Sehingga perlu dilihat juga apakah ini bisa digunakan secara inklusif oleh masyarakat agar memberikan dampak yang luas," ucap Riefky.

Info terkini tentang G20 kunjungi g20.org

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ridwal Prima Gozal