KONTAN.CO.ID - Aspek likuiditas mendapat perhatian penuh Bank Indonesia (BI) pascawabah korona berjangkit di Indonesia. Sejak awal tahun, BI secara agresif menempuh pelonggaran kuantitatif
(quantitative easing) lewat giro wajib minimum, rasio intermediasi makro prudensial, dan trisula intervensi di pasar valuta asing. Hingga April 2020, kebijakan pelonggaran likuiditas BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun ke dalam sistem keuangan nasional. Dalam pandangan BI, perekonomian domestik yang tengah lesu perlu disuntik likuiditas sebagai darah segar dengan harapan tetap bisa bertahan dalam menghadapi segala tekanan. Namun demikian, kondisi di atas agaknya sangat kontras dengan likuiditas di industri perbankan. Dari sisi hulu, masyarakat, khususnya nasabah golongan menengah ke bawah, yang mungkin sudah tidak bekerja atau terkena PHK mulai menarik dana yang disimpan di bank, alias mantab (makan tabungan).
Bagi bank yang tangguh dengan bekal cadangan likuiditas yang memadai, penarikan dana nasabah tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagi bank yang kondisinya kurang kuat niscaya menjadi persoalan tersendiri. Padahal, dana pihak ketiga merupakan input primer bagi perbankan dalam operasi bisnisnya. Dari sisi hilir, pertumbuhan kredit baru masih seret sementara kredit lama banyak yang macet. Kemampuan bayar dunia usaha yang terpapar korona menurun drastis sehingga mengganggu likuiditas perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit macet (
non performing loan atau NPL) kotor pada Maret berada di posisi 2,77%. Dari angka itu, nilai kredit yang harus direstrukturisasi mencapai Rp 207,22 triliun. Dengan asumsi restrukturisasi mencapai 50% saja dari total kredit, sektor perbankan perlu pendanaan likuiditas senilai Rp 115,31 triliun selama enam bulan ke depan. Konkretnya, ada sejumlah dana mandeg yang tidak bisa diputar. Beberapa solusi sudah diinisiasi OJK dalam menyiasati kesulitan likuiditas. Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 memperbolehkan kredit sampai Rp 10 miliar dianggap lancar jika debitur mampu membayar bunga atau pokok pinjaman, pun ketika kredit yang direstrukturisasi sudah termasuk kategori lancar. Keringanan tersebut memberi ruang kepada bank terbebas dari pencadangan kerugian kredit. Namun demikian, aturan ini potensial menimbulkan perilaku sembrono
(moral hazard). Debitur yang masih sehat secara finansial sangat boleh jadi ikutan menunggak pembayaran yang bisa menekan likuiditas bank kreditur. Kebijakan gadai kredit macet tampaknya belum menyelesaikan persoalan. Perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas bisa menggadaikan kredit yang direstrukturisasi. Namun, nilai kredit yang digadaikan niscaya lebih rendah daripada nilai nominalnya. Artinya, dana hasil gadai kredit belum bisa memenuhi kebutuhan likuiditas.
Bank jangkar Cerita yang sama sepertinya juga akan berlaku pada peminjaman pada bank jangkar atau bank perantara
(channeling). Bank perantara ini hanya sebatas perpanjangan tangan Kementerian Keuangan, OJK, dan BI dalam memberikan pinjaman likuiditas dengan aset rujukan
(underlying) kredit yang direstrukturisasi. Dengan status ini, bank jangkar tidak mempunyai tanggung jawab terhadap bank debitur yang kreditnya direstrukturisasi. Efeknya, tidak ada konsekuensi apapun yang ditanggung bank jangkar. Tanggung jawab tetap berada di pundak bank debitur yang menggadaikan kredit macet tadi. Artinya, eksistensi bank jangkar tidak menanggulangi masalah mendasar, yakni risiko. Padahal, di setiap perpindahan aset keuangan senantiasa termaktub risiko. Konkretnya, kiprah bank jangkar tidak menyentuh sampai pada ranah penggeseran risiko
(risk shifting), apalagi pembagian risiko
(risk sharing). Alternatif lain, perbankan yang mengalami kekurangan likuiditas bisa meminjam dana ke BI melalui
lending facility. Hanya saja, solusi ini dihindari karena ada stigma buruk di industri perbankan. Kalau sampai pinjam ke BI, bank yang bersangkutan dicap sudah mengalami kesulitan likuiditas pada tingkat yang parah. Stigma di atas masih bisa diperdebatkan. Namun yang jelas, memanfaatkan
lending facility mensyaratkan surat berharga sebagai jaminan. Padahal, tidak semua bank memiliki surat berharga. Lagi pula, peminjaman dana ke BI dianggap mahal jika ditujukan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Dengan pertimbangan ini, mayoritas bank yang mengalami kekeringan likuiditas lebih memilih bertransaksi di pasar uang antarbank (PUAB). Alasan finansialnya pun sangat masuk akal. Bank yang memerlukan likuiditas tetap bisa mengakses PUAB karena tidak mensyaratkan jaminan surat berharga. Di sisi lain, bank yang berlebih likuiditas bisa memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi jika bertransaksi di PUAB. Dengan alasan ini pula, bank jangkar hanya dihuni bank BUMN yang menjadi agen pemerintah, kendati beberapa bank besar lain secara finansial sangat mumpuni untuk menjadi anggota bank jangkar. Kembali pada pokok pembicaraan semula, fenomena kelangkaan likuiditas perbankan di saat BI tengah melakukan pelonggaran kuantitatif semestinya serius menjadi bahan introspeksi. Bahwa ada mata rantai yang terputus sehingga kebijakan relaksasi likuiditas BI tidak nyambung dengan kondisi perbankan di lapangan. Sejalan dengan itu, pandemi korona seharusnya menjadi momentum bagi sektor perbankan untuk berbenah. Kesulitan likuiditas sejatinya adalah masalah klasik bagi perbankan terlepas dari ada wabah korona atau tidak. Oleh karena itu, perubahan struktur industri perbankan mutlak diperlukan agar persoalan likuiditas tidak kembali terulang.
Pertama adalah penguatan kelembagaan. Hal ini krusial lantaran 70% pembiayaan ekspansi dunia usaha masih mengandalkan pada kredit perbankan. Imbasnya, hubungan resiprokal antara perbankan dengan dunia usaha menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Kondisi ini kurang sehat terkait dampak sistemik yang ditimbulkannya.
Kedua, perbankan harus memulai upaya diversifikasi sumber pendanaan. Faktanya, bank masih dominan menggantungkan sumber pendanaan konvensional, semacam CASA
(current account saving account). Sementara, beberapa bank besar saja yang memiliki pendanaan non-konvensional. Itu pun baru 10% dari total DPK.
Dalam skala yang lebih luas, pendalaman pasar keuangan
(financial deepening) menjadi cita-cita besar yang harus diraih. Kedalaman pasar keuangan mengarahkan pasar keuangan lebih efisien dan tersegmentasi sehingga gejolak di satu pasar tidak memberi efek ke pasar yang lain. Pada akhirnya, stabilitas sistem keuangan jauh lebih terjamin. Penulis : Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti