Monopoli, Belajar dari Kasus Ekspor Lobster



KONTAN.CO.ID - Apapun modelnya, praktik monopoli jelas dilarang di Indonesia. Apalagi, kalau praktik tersebut didesain lewat kebijakan dan regulasi birokrasi.

Pastinya, sangat mudah untuk menelusuri adanya perbuatan korupsi di dalam sebuah kebijakan. Inilah yang terjadi dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada pekan lalu.

Kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ini terkait dengan kebijakan ekspor benih lobster atau benur. Berdasarkan keterangan pers yang disampaikan oleh pimpinan KPK kepada media pada 25 Nopember 2020. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap komisi antirasuah karena mendapatkan kick back (suap) dari kebijakan dan regulasi yang ia keluarkan terkait perizinan ekspor benih lobster.


Untuk mengekspor benih lobster, para eksportir harus menggunakan satu perusahaan tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai penyedia layanan kargo (freight forwarder). Meski pun kebijakan Menteri KKP tersebut tidak secara spesifik menyebutkan penyedia kargo tunggal dalam regulasi.

Namun, dalam berbagai pertemuan, oknum KKP selalu mengarahkan penggunaan perusahaan yang ia tunjuk sebagai freight forwarder. Imbasnya, bagi eksportir yang tidak menggunakan perusahaan tersebut, Surat Keterangan Waktu Pengeluaran (SKWP) tidak akan diterbitkan oleh Kementerian Kelautan.

Padahal, SKWP merupakan persyaratan utama bagi eksportir agar bisa mengekspor benih lobster. Tak ada pilihan lain, agar SKWP bisa diterbitkan, terpaksa eksportir memakai jasa perusahaan freight forwarder yang telah diarahkan tersebut.

Hal ini jelas, secara regulasi praktik ini merupakan praktik monopoli. Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, praktik monopoli didefinisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Dalam UU No 5/1999 tersebut, praktik monopoli dilarang. Ini dapat dilihat pada pasal 7 UU Nomor 5/1999. Penunjukan satu perusahaan freight forwarder telah mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha atas barang atau jasa yang sama dan sangat jelas perusahaan tersebut menguasai 100% pasar penyedia jasa kargo benih lobster. Ini merupakan kejahatan yang bisa ditindak menggunakan UU Nomor 5/1999.

Kelindan dengan korupsi

Parahnya, selain kebijakan Menteri KKP telah menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, perbuatan ini juga menyebabkan biaya logistik ekspor lebih tinggi. Tarif layanan ekspor yang ditetapkan sebesar Rp 1.800 per ekor, jauh di atas harga pasar yang hanya Rp 200-300 per ekor. Imbasnya, pelaku usaha harus menanggung kenaikan biaya tersebut. Pada akhirnya, persoalan ini menyebabkan daya saing produknya menjadi turun.

Memang dalam pasar monopoli, penetapan harga tersebut didominasi oleh satu pihak, karena tak ada pesaing. Pelaku usaha yang monopoli sudah pasti akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam pasar.

Mereka tidak memikirkan bagaimana produk atau jasa tersebut bisa efisien dan harga jualnya terjangkau oleh masyarakat konsumen. Mereka hanya mencari cuan yang besar.

Hal tersebut menyebabkan kerugian bagi semua pihak yang berada dalam mata rantai barang atau jasa yang dimonopoli tersebut. Terutama konsumen yang harus membayar harga barang atau jasa yang lebih tinggi dari semestinya.

Dalam kasus ekspor benih lobster, berdasarkan pemberitan media, ternyata perusahaan freight forwarder yang melakukan praktik monopoli tersebut bukan perusahaan kargo sebenarnya. Mereka hanya menjadi perantara atau middle man.

Maksudnya, mereka tidak mengangkut sendiri benih itu ke negara tujuan ekspor, tapi menggunakan jasa kargo lain. Jika tarif yang mereka tetapkan Rp 1.800 per ekor, meraka hanya membayar Rp 300 per ekor pada penyedia jasa kargo lainnya. Mereka tanpa melakukan apapun, mendapatkan cuan sebesar Rp 1.500 per ekor atau lima kali lipat dari harga layanan kargo sebenarnya.

Dari praktik ini, KPK lantas menelusuri indikasi korupsinya. Ternyata, keuntungan yang didapat oleh perusahaan monopoli tersebut mengalir ke oknum di KKP.

Berdasarkan keterangan pers yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada beberapa kali transfer uang menuju ke sebuah rekening yang digunakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Termasuk juga penerimaan uang oleh dua orang oknum staf khusus menteri KKP Edhy Prabowo. Kedua orang tersebut merupakan staf yang ditunjuk oleh menteri untuk mengatur perizinan ekspor benih lobster.

Dari kasus ini, kita bisa menyimpulkan bahwa praktik monopoli yang terjadi tak hanya menyebabkan terjadi persaingan usaha tak sehat, tapi juga berkelindan dengan praktik tindak pidana korupsi. Ini merupakan kejahatan ekonomi luar biasa yang telah dilakukan dalam kegiatan ekspor benih lobster.

Saya berharap, perbuatan lancung ini tak hanya berakhir pada kasus korupsinya saja. Ini telah menyebabkan terjadinya berbagai kejahatan ekonomi lainnya, seperti kejahatan persaingan usaha tidak sehat dan pencucian uang. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) harus membawa praktik kejahatan ini dalam ranah penegakan hukum.

Informasinya, KPPU sudah melakukan penelitian terhadap praktik monopoli ini. Kita berharap KPPU menaikan statusnya ke tahap penyelidikan, pemeriksaan dan sidang perkara.

Begitu juga KPK, jangan hanya berhenti pada kasus suap semata. KPK harus membawa kasus ini ke ranah tindak pidana pencucian uang (TPPU). Oleh karena itu, KPK harus mengajak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran pencucian uang yang dilakukan oleh para tersangka, terutama oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Penulis : Wiko Saputra

Pengamat Kebijakan Publik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti