Moody's pangkas outlook Inalum menjadi negatif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Moody's Investor Services mengubah pandangan alias outlook PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjadi negatif dari sebelumnya stabil. Meski begitu perusahaan rating ini tidak mengubah peringkat Inalum dan obligasi senior yakni tetap di Baa2. 

"Prospek negatif mencerminkan operasi bisnis yang lebih lemah dari kinerja beberapa anak perusahaan Inalum, terutama karena kontraksi margin di tengah harga komoditas yang turun. Begitu juga kapasitas dan ekspansi hilir yang melemah," kata Nidhi Dhruv, Wakil Presiden dan Analis Senior Moody's dalam rilis Senin (13/4).

Moody's memperkirakan kinerja keuangan Inalum lebih lemah, apalagi masih harus mendanai akuisisi 20%-25% saham di PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menggunakan utang. Ini tentu mengerek tingkat utang Inalum menjadi sekitar US$ 6,5 miliar dan bruto leverage yang disesuaikan menjadi 8,0-8,5 kali  di 2020, meningkat dari 2019 di 6,2 kali.


Namun, bunga atas utang tambahan dapat dibiayai dengan dividen anak usaha yang bergerak di bidang hulu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Inalum memiliki 65% saham emiten batubara ini. Moody's menyebut, kontribusi pendapatan dividen dari PTBA bisa mencapai 90% dari total dividen yang didapat oleh Inalum. 

Baca Juga: Divestasi Saham INCO Tertunda Lagi

Selain PTBA, Inalum juga memiliki anak usaha lain dengan kepemilikan saham sebesar 65% di PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Timah Tbk (TINS). Tapi Moody's menyebut porsi dividen yang diberikan oleh TINS kecil.  "Peringkat Baa2 Inalum ini karena mendapat manfaat dari diversifikasi anak usaha perusahaan dalam portofolio penambangan mulai dari batubara, emas, nikel, timah, tembaga dan aluminium. Anak perusahaan juga memiliki biaya rendah, operasi kompetitif global," tambah Dhruv sebagai Moody's Lead Analyst untuk Inalum.

Peringkat Inalum juga mencerminkan kepemilikan 51,2% (ekuitas manfaat terbatas pada 41,2%) dari PT Freeport Indonesia (PTFI), yang mengoperasikan tambang tembaga terbesar kedua di dunia dan tambang emas terbesar di Grasberg. Terlebih pengembangan tambang bawah tanah di Grasberg mengalami kemajuan sesuai rencana meskipun Moody's mengharapkan PTFI untuk memberikan kontribusi dividen material dalam 2022-2023.

Baca Juga: Kantongi rekomendasi, kuota ekspor konsentrat Freeport dan Amman meningkat

Meski begitu, tingkat likuiditas Inalum lemah. Sumber kas Inalum tidak akan cukup untuk memenuhi persyaratan belanja modal di seluruh grup. Perusahaan ini juga memiliki utanag jatuh tempo senilai US$ 1 miliar selama 12-18 bulan ke depan. Namun, dengan refinancing rendah tapi perusahaan ini dimiliki oleh pemerintah Indonesia dengan akses bank dan pasar obligasi. Karena itu, Moody's berharap, Inalum dapat membayar obligasi tepat waktu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana