KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat Moody’s memproyeksikan, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45%.
Vice President-Senior Analyst Moody's Anushka Shah mengatakan, hal ini seiring dengan peningkatan kasus harian Covid-19 di akhir Juni 2021 dan awal Juli 2021 yang menyebabkan tantangan kebijakan fiskal yang lebih besar bagai pemerintah. “Pemerintah tetap fokus untuk melindungi kelompok rentan terhadap dampak ekonomi pandemi yang menyebabkan membengkaknya belanja, di saat pertumbuhan pendapatan masih belum pulih secara signifikan,” kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (26/7).
Seiring dengan hal ini, defisit anggaran pun melebar dari batas awal. Pada tahun 2020 alias pada tahun pertama pandemi Covid-19, defisit fiskal tercatat 6,1% terhadap PDB atau melebar dari posisinya di tahun sebelumnya yang hanya 2,2%. Seiring dengan hal ini, rasio utang juga meningkat tajam menjadi sekitar 39,8% terhadap PDB pada akhir 2020. Padahal di tahun 2019, rasio utang masih ada di level 31%. Pun dengan beban pembayaran beban bunga utang pada tahun 2020 naik menjadi 20,6% dari pendapatan. Sedangkan di tahun sebelumnya, pembayaran beban bunga utang hanya 14,1%.
Baca Juga: Moody's sematkan peringkat Baa2 untuk SUN global berdenominasi dolar dan euro Kalau ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja ini terus terjadi, takutnya utang makin menumpuk dan pada tahun 2023, bisa lebih dari 45% atau membengkak dari target yang disampaikan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang sebesar 43,21% hingga 43,99% di tahun 2023 mendatang. Meski begitu, Anushka mengapresiasi upaya pemerintah untuk mengembalikan defisit fiskal di kisaran 3,0% pada tahun 2023. Nah, strategi yang memang harus dikuatkan pemerintah adalah konsolidasi belanja dan menggenjot penerimaan. Baru-baru ini, pemerintah telah mengusulkan strategi reformasi pendapatan jangan menengah. Langkah-langkah ini ditempuh dengan rencana reformasi perpajakan.
“Langkah-langkah yang dibahas meliputi peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), memperluas basis Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan, menghilangkan pembebasan PPh badan, serta skema pengampunan pajak,” tambah Anushka. Dia pun menganggap ini sebagai angin segar bagi pendapatan Indonesia. Pasalnya, bagian pendapatan Indonesia terhadap PDB juga merupakan yang paling rendah diantara negara sebaya. Sayangnya, dia melihat masih ada tantangan berat yang bakal dihadapi pemerintah dalam menerapkan upaya mendongkrak penerimaan ini. Terutama dari sisi kesulitan politik. Sehingga, pemerintah memang harus berupaya keras agar bisa diterima dan implementasinya pun tetap menguntungkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari