JAKARTA. Satu demi satu lembaga pemeringkat menyoroti negatif kelambanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengubah kebijakan subsidi BBM. Setelah S&P memangkas proyeksinya pekan lalu, hari ini giliran Moody's. Moody's menegaskan bahwa ketidakmampuan pemerintah mereformasi kebijakan subsidi BBM akan berdampak negatif bagi peringkat utang. Ini memang baru peringatan saja, karena Moody's masih menjaga peringkat Indonesia di Baa3 dengan outlook stabil.Menurut Moody's, ekonomi Indonesia akan tumbuh 6% di 2013, turun dari angka 6,2% di 2012 lalu. Tanpa penurunan subsidi BBM, Presiden SBY memang sudah menyatakan bahwa defisit anggaran bisa membengkak menjadi 3,8% PDB. Angka ini lebih tinggi ketimbang estimasi Kementerian Keuangan di awal April lalu yang sebesar 2,4%. Juga lebih tinggi dari target defisit di APBN sebesar 1,7%, dan batasan maksimal defisit anggaran di level 3%.Defisit neraca berjalan juga akan melebar, sehingga menambah tekanan pada rupiah dan inflasi.Akan tetapi, memangkas subsidi BBM juga jelas menambah risiko inflasi. Inflasi tahunan April saja sudah mencapai 5,6%, melampaui target akhir tahun inflasi oleh BI di kisaran 3,5%-5,5%.Lebih jauh lagi, neraca pembayaran RI yang terus melemah juga akan melemaskan rupiah dan akan menaikkan inflasi lewat kenaikan harga barang impor.Moody's menulis, selama dua tahun terakhir ini, DPR tidak pernah mau menyetujui perubahan subsidi yang diajukan pemerintah. Lalu, dalam pembahasan anggaran 2013, pemerintah akhirnya mendapatkan persetujuan DPR untuk menaikkan harga.Akan tetapi, Selasa pekan lalu, SBY mengumumkan bahwa pembatasan BBM subsidi baru dilakukan jika DPR menyetujui bantuan tunai bagi orang miskin. Moody's melihat hal ini malah menegasikan kegunaan persetujuan kenaikan harga yang sudah diperoleh. Ini juga menunjukkan ada perubahan taktik dari pengumuman kenaikan harga sebelumnya.Bisa jadi, DPR kembali menolak proposal kenaikan harga tersebut, terlebih di saat yang semakin dekat dengan Pemilu 2014. "Situasi ini akan menjadi ujian penting bagi Indonesia dalam menjalankan kerangka kebijakan yang baik, dengan mandat pengaturan fiskal dan inflasi yang dimiliki pemerintah," tulis Christian de Guzman, Vice President - Senior Analyst, Sovereign Risk Group, Moody's Investors Service Singapore Pte. Ltd. Subsidi membengkak dalam dua tahunSubsidi merupakan fitur penting dalam anggaran Indonesia. Beban subsidi mencapai 20% dari pengeluaran pemerintah dari tahun 2003-2012. Subsidi BBM mencapai 58,2% dari total subsidi itu.Revisi subsidi BBM terakhir kali diubah tahun 2008 silam. Waktu itu, lonjakan harga minyak mentah melambungkan nilai subsidi BBM menjadi RP 139,1 triliun atau 2,8% dari PDB. Walau begitu, kenaikan subsidi bisa ditutup dengan kenaikan pendapatan migas tahun itu. Sehingga, defisit anggaran RI di 2008 hanya 0,1% PDB.Namun saat ini, gambaran besarnya sedikit berbeda. Di tengah krisis global, Indonesia termasuk salah satu negara G20 yang tumbuh paling pesat. Ekonominya tumbuh rata-rata 6,3% selama tahun 2010-2012.Selama periode itu pula, permintaan BBM subidi membengkak. Tagihan BBM subsidi berlipat dua, dari Rp 82,4 triliun di 2010 (1,3% PDB) menjadi Rp 211,9 triliun di 2012 (2,6% PDB). Konsumsi BBM yang diimpor membesar. Di lain pihak, produksi minyak RI merosot. Ini menjadi salah satu yang menyumbang defisit neraca berjalan tahun 2012, defisit yang pertama kali terjadi sejak tahun 1997.Impor minyak Indonesia melambung ke US$ 20,3 miliar di 2012. Padahal tahun 2010, nilainya baru US$ 8,6 miliar.Defisit neraca berjalan pada akhirnya berimbas pada liarnya gerakan nilai tukar rupiah. Sepanjang 2012, rupiah melemah 6% terhadap dollar AS.Cadangan devisa Indonesia juga sudah menipis. Per Maret lalu, cadangan devisa mencapai US$ 104,8 miliar, sedangkan di akhir 2012 nilainya masih US$ 112,8 miliar.Kendati demikian, Moody's melihat bahwa utang pemerintah yang moderat, cadangan devisa yang masih cukup untuk menutup utang yang jatuh tempo sampai dua tahun ke depan, dan kekuatan pertumbuhan ekonomi masih menopang peringkat Indonesia. Karenanya, Moody's masih memberikan outlook stabil bagi Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Moody's pun ikut memperingatkan Indonesia
JAKARTA. Satu demi satu lembaga pemeringkat menyoroti negatif kelambanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengubah kebijakan subsidi BBM. Setelah S&P memangkas proyeksinya pekan lalu, hari ini giliran Moody's. Moody's menegaskan bahwa ketidakmampuan pemerintah mereformasi kebijakan subsidi BBM akan berdampak negatif bagi peringkat utang. Ini memang baru peringatan saja, karena Moody's masih menjaga peringkat Indonesia di Baa3 dengan outlook stabil.Menurut Moody's, ekonomi Indonesia akan tumbuh 6% di 2013, turun dari angka 6,2% di 2012 lalu. Tanpa penurunan subsidi BBM, Presiden SBY memang sudah menyatakan bahwa defisit anggaran bisa membengkak menjadi 3,8% PDB. Angka ini lebih tinggi ketimbang estimasi Kementerian Keuangan di awal April lalu yang sebesar 2,4%. Juga lebih tinggi dari target defisit di APBN sebesar 1,7%, dan batasan maksimal defisit anggaran di level 3%.Defisit neraca berjalan juga akan melebar, sehingga menambah tekanan pada rupiah dan inflasi.Akan tetapi, memangkas subsidi BBM juga jelas menambah risiko inflasi. Inflasi tahunan April saja sudah mencapai 5,6%, melampaui target akhir tahun inflasi oleh BI di kisaran 3,5%-5,5%.Lebih jauh lagi, neraca pembayaran RI yang terus melemah juga akan melemaskan rupiah dan akan menaikkan inflasi lewat kenaikan harga barang impor.Moody's menulis, selama dua tahun terakhir ini, DPR tidak pernah mau menyetujui perubahan subsidi yang diajukan pemerintah. Lalu, dalam pembahasan anggaran 2013, pemerintah akhirnya mendapatkan persetujuan DPR untuk menaikkan harga.Akan tetapi, Selasa pekan lalu, SBY mengumumkan bahwa pembatasan BBM subsidi baru dilakukan jika DPR menyetujui bantuan tunai bagi orang miskin. Moody's melihat hal ini malah menegasikan kegunaan persetujuan kenaikan harga yang sudah diperoleh. Ini juga menunjukkan ada perubahan taktik dari pengumuman kenaikan harga sebelumnya.Bisa jadi, DPR kembali menolak proposal kenaikan harga tersebut, terlebih di saat yang semakin dekat dengan Pemilu 2014. "Situasi ini akan menjadi ujian penting bagi Indonesia dalam menjalankan kerangka kebijakan yang baik, dengan mandat pengaturan fiskal dan inflasi yang dimiliki pemerintah," tulis Christian de Guzman, Vice President - Senior Analyst, Sovereign Risk Group, Moody's Investors Service Singapore Pte. Ltd. Subsidi membengkak dalam dua tahunSubsidi merupakan fitur penting dalam anggaran Indonesia. Beban subsidi mencapai 20% dari pengeluaran pemerintah dari tahun 2003-2012. Subsidi BBM mencapai 58,2% dari total subsidi itu.Revisi subsidi BBM terakhir kali diubah tahun 2008 silam. Waktu itu, lonjakan harga minyak mentah melambungkan nilai subsidi BBM menjadi RP 139,1 triliun atau 2,8% dari PDB. Walau begitu, kenaikan subsidi bisa ditutup dengan kenaikan pendapatan migas tahun itu. Sehingga, defisit anggaran RI di 2008 hanya 0,1% PDB.Namun saat ini, gambaran besarnya sedikit berbeda. Di tengah krisis global, Indonesia termasuk salah satu negara G20 yang tumbuh paling pesat. Ekonominya tumbuh rata-rata 6,3% selama tahun 2010-2012.Selama periode itu pula, permintaan BBM subidi membengkak. Tagihan BBM subsidi berlipat dua, dari Rp 82,4 triliun di 2010 (1,3% PDB) menjadi Rp 211,9 triliun di 2012 (2,6% PDB). Konsumsi BBM yang diimpor membesar. Di lain pihak, produksi minyak RI merosot. Ini menjadi salah satu yang menyumbang defisit neraca berjalan tahun 2012, defisit yang pertama kali terjadi sejak tahun 1997.Impor minyak Indonesia melambung ke US$ 20,3 miliar di 2012. Padahal tahun 2010, nilainya baru US$ 8,6 miliar.Defisit neraca berjalan pada akhirnya berimbas pada liarnya gerakan nilai tukar rupiah. Sepanjang 2012, rupiah melemah 6% terhadap dollar AS.Cadangan devisa Indonesia juga sudah menipis. Per Maret lalu, cadangan devisa mencapai US$ 104,8 miliar, sedangkan di akhir 2012 nilainya masih US$ 112,8 miliar.Kendati demikian, Moody's melihat bahwa utang pemerintah yang moderat, cadangan devisa yang masih cukup untuk menutup utang yang jatuh tempo sampai dua tahun ke depan, dan kekuatan pertumbuhan ekonomi masih menopang peringkat Indonesia. Karenanya, Moody's masih memberikan outlook stabil bagi Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News