Moratorium hambat pertumbuhan produksi CPO



JAKARTA. Terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 19 Mei 2011 mengancam pertumbuhan produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Inpres moratorium tersebut berlaku selama dua tahun sejak diterbitkan.

Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan, Inpres itu menghambat ekspansi lahan kelapa sawit baru. Sebelum adanya moratorium, ekspansi lahan sawit bisa mencapai 500.000 hingga 600.000 hektare (ha).

Tapi dengan terbitnya moratorium, maka ekspansi lahan bisa terpangkas 100.000 -200.000 ha. "Dalam dua tahun ke depan, ekspansi lahan kami perkirakan hanya sekitar 300.000-400.000 ha per tahun," ujar Joko, akhir pekan lalu.


Terhambatnya ekspansi lahan kebun sawit bakal berdampak terhadap pertumbuhan produksi CPO nasional. Menurut Joko, potensi produksi CPO nasional yang hilang selama dua tahun ke depan sekitar 4 juta ton. Asumsinya, potensi penambahan lahan yang 'hilang' mencapai 100.000-200.000 ha. Sementara produktivitas CPO rata-rata 20 ton per ha pertahun. "Laju produksi CPO kita berkurang sebanyak itu dalam dua tahun ke depan," kata Joko.

Hal ini bakal berimbas juga pada berkurangnya kontribusi CPO terhadap produk domestik bruto (PDB). Joko mengasumsikan, potensi kontribusi nilai uang yang hilang dalam dua tahun ke depan bisa mencapai US$ 4 miliar. Nilai ini diperoleh dengan asumsi harga CPO sebesar US$ 1.000 per ton dikalikan 4 juta ton.

Selain menghambat pertumbuhan produksi, Inpres moratorium juga mengganggu pertumbuhan investasi perkebunan sawit. Menurut Joko, ekspansi lahan sawit baru menyerap investasi Rp 60 juta per ha. Dengan asumsi laju ekspansi tergerus 100.000-200.000 ha, maka potensi investasi yang hilang mencapai Rp 6 triliun-Rp 12 triliun.

Kehilangan pekerjaan

Hilangnya potensi investasi itu karena menciutnya penambahan lahan baru, papar Joko, akan berimbas kepada hilangnya lapangan kerja baru. Menurut Joko, sebanyak 100.000-200.000 ha lahan yang hilang bisa menyedot tenaga kerja 40.000-60.000 orang. Nah, dengan tidak adanya ekspansi, maka potensi lapangan kerja sebanyak itu akan hilang. "Itu potensi dari sisi pembangunan, banyak orang seharusnya bekerja menjadi tidak bisa bekerja," imbuh Joko.

Supiyandi Sabihan, anggota Dewan Pakar Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, menilai, Inpres moratorium berlaku diskriminatif terhadap industri sawit. Pasalnya, Inpres tersebut hanya menghambat laju pertumbuhan satu komoditas tertentu. "Dan, kenapa sawit saja yang dilarang, sementara yang lain tidak?" ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can