KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mencabut moratorium fintech peer to peer (P2P) lending pada tahun ini. Namun, dicabutnya moratorium berpotensi makin banyaknya pemain yang akan masuk dan bisa jadi meningkatkan risiko kredit macet apabila kebanyakan perusahaan tersebut bergerak untuk pembiayaan konsumtif. Demi mengantisipasi meningkatnya kredit macet yang disebabkan pembiayaan konsumtif, OJK akan mengkaji dan membatasi pemain baru terkait jenis pembiayaannya. Pengamat teknologi/Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan kredit macet memang menjadi tantangan fintech saat ini. Heru menerangkan memang seharusnya permasalahan kredit macet yang terjadi selama ini bisa menjadi pertimbangan bagi perusahaan dan OJK menerapkan suatu aturan.
Menurutnya, banyaknya fintech atau pinjol yang selama ini ada juga membuat masalah tak kunjung selesai karena orang masih bisa gali lubang tutup lubang dari satu fintech ke fintech lain. "Dengan demikian, harus ada strategi juga dari OJK untuk membatasi jumlah perusahaan," ucap Heru kepada Kontan.co.id, Selasa (13/6).
Baca Juga: Agregat Pinjaman Industri P2P Lending Per April 2023 Capai Rp 601,41 Triliun Selain membatasi jumlah fintech, Heru menyebut perlu adanya penguatan dalam screening para peminjam. Sebab, para peminjam yang tak bertanggung jawab bisa saja menambah parah permasalahan tersebut. "Permasalahan kerdit macet yang tinggi, apakah memang mereka tidak melakukan credit scoring dengan maksimal sebelum memberikan pinjaman? Misalnya, pinjaman kepada kalangan muda, seperti mahasiswa, mereka memang ada kebutuhan, tetapi perusahaan juga harus tahu mereka ada pendapatan atau tidak untuk membayar pinjaman tersebut," ujarnya. Menurutnya, besarnya kredit macet saat ini juga mengindikasikan sistem penyedia pembiayaan atau fintech tak bekerja dengan maksimal. Dia pun mengatakan bisa saja semua orang diberikan pinjaman dengan mempertimbangan dapat keuntungan dari bunga. Oleh karena itu, Heru menyebut, fintech harus memperkuat sisi credit scoring sehingga bisa memberikan pinjaman kepada orang yang tepat. Sementara itu, Heru juga beranggapan seharusnya dari pihak fintech juga harus melihat penggunaan pinjaman tersebut digunakan untuk hal yang konsumtif atau produktif. Dia menerangkan jangan sampai kebanyakan pinjaman digunakan untuk hal yang konsumtif, yang mana sekali pakai selesai. Padahal berharapnya pembiayaan itu digunakan untuk hal yang produktif juga. Selain itu, Heru mengatakan, fintech perlu melihat sisi pendapatan para peminjam. Jadi, mereka juga ada kemampuan untuk mengembalikan pinjaman sesuai waktu. "Ujungnya kalau tidak memperhatikan itu bisa menimbulkan kredit macet, makanya perlu juga mengubah peraturan terkait pemilihan peminjam," katanya. Heru juga mengimbau kepada masyarakat yang meminjam hendaknya melakukan pengembalian sesuai dengan kewajiban yang telah ditetapkan. Dia pun menyarankan kepada peminjam perlu juga melakukan pembicaraan atau komunikasi dengan pihak platform. "Harus ada win win solution, jangan sampai berbunga terus tanpa diketahui malah akhirnya berlipat-lipat mengembalikannya. Hal itu juga bisa membuat peminjam enggan untuk mengembalikan pinjaman," ujar Heru.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan ingkat risiko kredit secara agregat atau TWP90 naik menjadi 2,82% pada April 2023. Angka tersebut tumbuh 0,01%, jika dibandingkan dengan Maret 2023 yang sebesar 2,81%. Pada April tahun lalu angka TWP90 tercatat sebesar 2,31%. Adapun jumlah perusahaan P2P lending yang masuk pengawasan khusus karena TWP90 di atas 5% mengalami kenaikan per April 2023 sebanyak 24 perusahaan, jika dibandingkan dengan posisi Maret 2023 sebanyak 23 perusahaan.
Baca Juga: AFPI: Masuknya Fintech Baru Bisa Memperkuat Industri P2P Lending Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat