JAKARTA. Baru-baru ini presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang meresahkan pelaku industri kelapa sawit. Pemerintah berencana menerapkan moratorium (penghentian sementara) pemberian izin pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Ini tentu akan membuat perusahaan sawit kesulitan untuk melakukan ekspansi. Namun sejumlah analis menilai moratorium tersebut tidak merugikan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri malah menilai aturan tersebut justru akan menguntungkan emiten terutama yang sudah memiliki lahan luas. "Ini akan menekan jumlah pendatang baru di industri tersebut," ujarnya pada KONTAN, Minggu (24/4). Dengan terbatasnya pendatang baru dan tidak bertambahnya lahan baru, maka tingkat produksi Tandan Buah segar (TBS) kelapa sawit ke depan akan turun dan ini akan mendorong harga Crude Palm Oil (CPO) akan terus meningkat ke depan. Menurut Hans, emiten-emiten yang sudah memiliki lahan yang besar saat ini akan sangat diuntungkan dengan kenaikan harga tersebut. Lagipula, lanjut Hans, saat ini sebagian besar emiten perkebunan masih menahan ekspansi lahan baru di tengah kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya pulih. Senada, william Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities menilai moratorium tersebut justru membawa dampak positif dalam menjaga harga CPO ke depan. Meskipun tak ada penambahan lahan baru, dia memandang pembatasan izin pembukaan lahan baru tersebut tetap masih menguntungkan emiten karena beban akan turun karena tidak ada ekpansi sementara margin semakin tebal dengan kenaikan harga tersebut. Kendati begitu, William melihat kebijakan moratorium tetap akan membawa dampak negatif dalam ke depannya terutama bagi emiten yang umum tanamnnya sudah mulai tua. "Tetapi dampaknya positif tadi masih lebih dominan terhadap emiten sektor ini," ujarnya. Tahun ini, keduanya melihat prospek sektor perkebunan sawit masih positif karena harga CPO dunia akan positif karena produksi tahun ini akan melambat sebagai dampak dari El Nino. Sementara dari dalam negeri, lanjut Hans, prospek bisnis dan saham perkebunan sawit akan didorong oleh program Biodiesel B-20 yakni program pemerintah yang mewajibkan 20% campuran biodiesel untuk bahan bakan Biofuel. Permintaaan dari dalma negeri diperkirakan akan mengatasi kelebihan pasokan di tengah melambatnya permintaan ekpor akibat perlambatan ekonomi di negara-negara konsumen CPO. Wilbert, analis Sinarmas Securities memperkirakan harga CPO tahun ini akan cenderung positif mengingat puncak dari efek El Nino belum kelihatan. Perkiraannya, harga CPO akan mencapai RM 2.600 - RM 2.700 tahun ini. "Ini akan bermanfaat bagi perusahaan perkebunan karena akan mendorong peningkatan top line maupun bottom line tahun ini," jelasnya. Selain dampak dari El Nino yang akan menekan produksi TBS tahun ini, Wilbert melihat ada potensi La Nina juga tahun ini yang akan menopang harga CPO ke depan. El Nino, secara historis selalu diikuti oleh La Nina, diperkirakan berlangsung 3 - 5 bulan setelah El Nino berakhir. Wilbert menjelaskan, La Nina kemungkinan akan membuat kekeringan di belahan bumi utara yang merupakan produsen kedelai terbesar. Kelangkaan bahan substitusi minyak ini akan menguntungkan industri kelapa sawit.