KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah mengevaluasi 2,3 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengkritisi pemerintah harus menggunakan kesempatan ini untuk mendata secara detail lahan potensial dan mendefinisikan secara detail petani yang patut diberi lahan tersebut. Mansuetus Darto, Ketua Umum Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS) melihat angka tersebut perlu di kaji dengan lebih mendalam karena menurutnya tidak memperhitungkan jumlah petani yang dapat dilibatkan dalam pelepasan kawasan tersebut.
"Menurut kami, angka itu belum termasuk petani kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan. Kami sering meminta pemerintah, untuk melakukan pendataan petani dalam kawasan hutan. Tetapi KLHK tidak memiliki datanya sama sekali. Justru saya mau menantang KLHK, berapa ha punya petani dalam 2,3 juta ha itu," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (21/10). Asal tahu, evaluasi lahan yang dilakukan KLHK merupakan kelanjutan dari penerapan Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Inpres ini kerap disebut sebagai moratorium sawit untuk tiga tahun ke depan. Mansuetus mengkritisi pemerintah inpres moratorium masih ada kekurangan terutama dalam menentukan nasib petani yang masih dalam kawasan hutan. "Setelah mengetahui petani berada dalam kawasan hutan, tidak diperjelas apakah dibebaskan atau seperti apa," katanya. Memang terdapat program dimana pemerintah melakukan sertifikasi lahan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Salah satu fokusnya untuk memperjelas legalitas lahan yang dapat digunakan untuk perkebunan sawit, data-data lahan tersebut berasal dari KLHK. Proyek ini kemudian dilanjutkan oleh Kementerian Pertanian yang melakukan pendataan petani sawit yang dapat menerima bantuan dan subsidi dalam program peremajaan sawit. Artinya, pendataan dan evaluasi lahan harus dilakukan dengan tepat. Selain memastikan areal lahan, Mansuetus juga berharap pemerintah dapat menegaskan definisi petani sawit. Menurutnya, hal tersebut bisa diatur dengan empat parameter yakni, pertama, penetapan batasan luas lahan bagi petani. Kedua, lama pengelolaan sawit. Ketiga, bentuk pengelolaan berupa kebun langsung atau menggunakan peker.
Keempat, geografis petani tinggal di sekitar kebun atau tinggal di kota. Kelima, kategori pekerjaan sebagai petani sawit sebagai pekerjaan pokok atau sampingan. Kajian definisi itu nantinya untuk bisa di gunakan siapa yang akan dibebaskan dan siapa yang tidak. Sehingga tidak menggeneralisir petani dalam kawasan hutan bahwa mereka semua adalah perambah hutan. "Kami akui, ada yang merambah hutan tapi ada juga yang tidak karena penentuan kawasan itu dari atas," jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto