KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemenuhan sebagian tuntutan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) oleh manajemen Garuda, tak membuat para pekerja menghentikan niat mengancam melakukan mogok kerja. Menurut pengamat kebijakan publik Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie, hal tersebut bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena berlebihan dan dapat merugikan konsumen. ''Alasannya mogok kerja itu harus didasari gagalnya perundingan atau deadlock yaitu tidak tercapai kesepakatan, antara serikat pekerja dengan perusahaan. Yang terjadi kan tidak, justru Sekarga dan APG menutup ruang dialog yang diberikan perusahaan,'' ujar Jerry melalui keterangannya, Kamis (10/5).
Telah diketahui sebelumnya, bahwa sebagian tuntutan karyawan sudah dipenuhi, di antaranya penghapusan posisi Direktur Produksi yang dijabat Puji Nur Handayani. Kemudian, melalui RUPS, pemegang saham mengangkat Triyanto Moeharsono sebagai Direktur Operasi dan Iwayan Susena sebagai Direktur Teknik. Selain itu, terkait tuntutan menghilangkan posisi Direktur Cargo dan mengganti Direktur SDM dan Umum yang dijabat Linggarsari Suharso adalah menjadi kewenangan pemerintah sebagai pemegang saham. Di satu sisi, kinerja Garuda saat ini pun dinilai tengah membaik. Garuda berhasil menekan kerugian pada Kuartal I-2018 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tercatat, pada Januari - Maret 2018 kerugian tercatat US$ 64,3 juta (Rp 868 miliar) atau turun 36,5% dibandingkan dengan Januari - Maret 2017 mencapai US$ 101,2 juta (Rp 1,36 triliun). ''Pilot itu laksana dokter, polisi, tentara, sifat pelayanan publiknya tidak layak mogok kerja, apalagi gaji mereka di atas ketiga profesi tadi. Gaji dan fasilitas pilot sudah sangat memadai. Buat apa lagi mereka mogok?,'' lanjut Jerry. Diketahui, pendapatan pilot junior di maskapai pelat merah ini pada tahun-tahun pertama dapat menyentuh nominal Rp 60 jutaan. Komponen pendapatan tersebut biasanya terdiri dari gaji plus tunjangan lain dan akan bertambah seiring dengan bertambahnya masa kerja dan jam terbang. Pundi-pundi pilot juga semakin menebal pada saat menjadi pilot senior. Seorang kapten senior di maskapai bintang lima seperti Garuda dapat memiliki penghasilan atau take home pay berkisar Rp 100 juta sampai Rp 150 juta. Capaian pendapatan tersebut belum termasuk benefit noncash lain, seperti tunjangan kesehatan, asuransi personal, lost of flying license, iuran pensiun, BPJS, kesehatan pensiun, penghargaan masa kerja, dan penghargaan pensiun yang bervariasi di setiap maskapai. Profesi pilot dibekali dengan berbagai proteksi dan fasilitas jaminan karier yang beragam, mulai dari jaminan kesehatan bagi yang bersangkutan dan keluarganya, jaminan kecelakaan, bahkan jaminan profesi jika terjadi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya lisensi terbang. Pilot juga mendapatkan jaminan kesehatan dengan kategori di atas rata-rata. Jaminan tersebut bisa meng-cover tindakan operasi. Bahkan, operasi sakit jantung sampai pemasangan ring dapat di-cover. Jaminan lainnya juga diberikan apabila terjadi kecelakaan yang menyebabkan pilot cacat tetap atau meninggal.
Fasilitas lain yang dimiliki pilot adalah layanan antar jemput dari dan ke bandara hingga fasilitas konsesi berupa tiket penerbangan bagi pilot dan keluarga yang lumrah ditemui pada pegawai maskapai penerbangan. Terkait ancaman mogok kerja ini juga telah disoroti sebelumnya oleh Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi yang mengimbau agar masalah di internal Garuda tidak berdampak pada pelayanan terhadap konsumen. ‘’Kalau sampai mogok, berarti pilot akan berhadapan dengan konsumen. YLKI tidak endorse untuk mogok pilot,’’ kata Tulus. Menurutnya, tuntutan APG dan Sekarga merupakan hak mereka sebagai pekerja. Namun jangan sampai melanggar hak pihak lain, dalam hal ini hak konsumen. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto