KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mempertimbangkan dampak ekonomi dari kebijakan pelarangan operasional truk sumbu tiga selama periode libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru). Djoko menilai, kebijakan tersebut berpotensi menambah beban pelaku usaha angkutan barang, terutama pemilik truk yang masih memiliki kewajiban cicilan kepada perusahaan pembiayaan atau leasing. “Pelarangan itu boleh saja, tetapi harus dipertimbangkan juga nasib para pengusaha truk. Sebagian besar truk itu dibeli lewat kredit ke
leasing, bukan bantuan negara,” ujar Djoko, Rabu (24/12/2025).
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Dapat Suntikan Pinjaman Rp 4,9 Triliun dari Danantara Menurutnya, larangan operasional selama total 17 hari sama artinya dengan menghentikan sumber pendapatan pengusaha truk dan sopir. Padahal, kewajiban cicilan tetap harus dibayar meski armada tidak diizinkan beroperasi. “Kalau aturan ini tetap dijalankan, artinya pejabat yang membuat kebijakan tidak pernah merasakan jadi pengusaha. Coba rasakan kalau 17 hari tidak bisa beroperasi, pasti berat. Belum lagi sopirnya, apa negara mau memberi mereka makan?” katanya. Djoko mengungkapkan, rata-rata pendapatan sopir truk berada di bawah Rp 5 juta per bulan. Dengan larangan beroperasi dalam waktu cukup panjang, ia menilai kesejahteraan keluarga sopir menjadi taruhannya. “Kalau tidak kerja, siapa yang memberi makan keluarganya?” tegasnya. Sebagaimana diketahui, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenhub, Korlantas Polri, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), pemerintah awalnya menetapkan pembatasan operasional truk sumbu tiga selama 11 hari pada periode 19–20 Desember 2025, 23–28 Desember 2025, serta 2–4 Januari 2026.
Baca Juga: Hadapi Libur Nataru, Pertamina Patra Niaga Gandeng YLKI Namun, dalam rilis terbaru, Kemenhub menambah masa pelarangan menjadi total 17 hari, yakni mencakup 21–22 Desember 2025 serta 29 Desember 2025 hingga 1 Januari 2026, baik di jalan tol maupun non-tol dengan pengaturan jam operasional tertentu. Djoko menyayangkan penambahan hari pelarangan tersebut yang disebut berkaitan dengan kebijakan
Work From Anywhere (WFA) bagi aparatur sipil negara (ASN). Menurutnya, kebijakan tersebut tidak seharusnya dibayar mahal oleh sektor logistik. “Apa Kemenhub tidak memikirkan kesusahan para pemilik truk sumbu tiga itu? Mereka juga ingin mencari nafkah untuk keluarganya,” ucapnya. Ia menegaskan, Kemenhub seharusnya tidak hanya mengeluarkan larangan, tetapi juga menyiapkan solusi agar keberlanjutan usaha tetap terjaga. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pemberian kompensasi berupa keringanan cicilan kredit truk. “Misalnya cicilan setahun cukup dibayar 10 bulan saja. Itu sudah sangat membantu. Ada kompensasi nyata yang diberikan,” katanya.
Baca Juga: Kilang Pertamina (KPI) Siapkan Proyek WSA untuk Efisiensi Energi dan Dekarbonisasi Lebih lanjut, Djoko menilai larangan operasional yang terlalu lama berpotensi mengganggu aktivitas perdagangan dan distribusi barang ke konsumen. Selain itu, biaya logistik juga berisiko meningkat karena pelaku usaha harus mengalihkan pengangkutan ke truk sumbu dua dengan jumlah armada yang lebih banyak. Ia juga menyoroti waktu pengumuman kebijakan yang dinilai terlalu dekat dengan masa pelaksanaan. Menurutnya, industri membutuhkan kepastian dan waktu persiapan yang memadai.
“Kalau diumumkan terlalu mepet, itu sama saja tidak memberi kesempatan industri untuk berbenah. Dampaknya, kerugian besar sulit dihindari,” tutup Djoko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News