Muadz, guru yang menjadi juragan miniatur wayang golek



Muadz Hadsi mendapat ilmu membuat wayang dari sang ayah, sekaligus mewarisi usaha pembuatan wayang ayahnya. Namun, di tangannya, penjualan miniatur wayang Werkudara bisa menembus pasar ekspor, seperti Korea Selatan dan China. Bahkan, dia juga berhasil melewati krisis moneter 1997-1998 termasuk mengembangkan produknya.Muadz Hadsi sudah akrab dengan dunia wayang sejak masih kecil. Ayahnya, Mansur, adalah pembuat wayang golek dan miniatur wayang golek sejak 1981 di Bandung, Jawa Barat. Mansur memberi nama usaha wayangnya: Werkudara.Werkudara adalah tokoh pewayangan dalam epos Pandawa. Namun, Werkudara lebih dikenal dengan nama Bima, satria kedua Pandawa yang bersifat kasar tapi berhati lembut. Nah, "Kami berharap usaha wayang golek kami juga kuat seperti Werkudara," kata Muadz.Muadz yang lahir di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur pada 5 Desember 1971 memperoleh ilmu pembuatan wayang golek dari sang ayah. Juga dari pengalaman melihat langsung ayahnya dan pegawai Werkudara bekerja membuat wayang.Sebagai anak laki-laki pertama dari empat bersaudara, Muadz memang dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan usaha Werkudara. Sebelum benar-benar terjun ke bisnis ini, ia kuliah di Jurusan Keguruan Bahasa Inggris Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat. Selama kuliah, Muadz juga aktif memasarkan miniatur wayang golek made in Werkudara melalui internet. "Saya juga datang langsung ke toko-toko di Tasikmalaya dan Subang untuk memasarkannya," papar Muadz yang saat ini juga aktif bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMK PGRI Subang. Selepas menyelesaikan kuliah pada 2007, Muadz pun mewarisi usaha Werkudara sepenuhnya. Ia mengawasi produksi dan distribusi miniatur wayang golek. Pusat produksi Werkudara ada di Jalan Cicalengka Barat Raya Nomor 97, Bandung. Namun, sang ayah tidak melepas begitu saja Muadz memimpin usaha Werkudara dengan 15 pegawai. Ayahnya masih sesekali ikut membantu. Sampai akhirnya pada 2008, Muadz benar-benar harus memimpin sendirian, sebab sang ayah memutuskan untuk pindah ke Sumedang menemani adiknya.Di Sumedang, menurut Muadz, ayahnya tetap membuat miniatur wayang golek. Sang ayah mendirikan bengkel kecil dan mempekerjakan 5 pegawai. "Tiap bulan, 50 miniatur wayang dihasilkan oleh pegawai ayah saya di Sumedang," katanya. Bahkan, jika pesanan menumpuk, ayahnya akan menambah pegawai lepas.Hasil produksi miniatur wayang golek ayahnya diambil oleh Muadz untuk kemudian dijual bersamaan dengan buatan Werkudara. Untuk memasarkan produknya, Muadz juga banyak menggunakan media internet. "Itu untuk memancing konsumen terutama dari luar negeri," ungkap dia.Itu sebabnya, pesanan miniatur wayang golek tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari negeri seberang. Selain dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, permintaan juga mengalir dari Korea Selatan dan China. "Sepertinya mereka lebih tertarik dengan budaya Indonesia ketimbang orang kita sendiri," kata Muadz.Dengan keberhasilan itu, Muadz percaya bahwa pemasaran lewat dunia maya cenderung lebih efektif menarik konsumen. Dengan omzet per bulan mencapai Rp 50 juta, Muadz terus mengembangkan produksi dan pemasaran produknya, baik wayang golek ukuran standar maupun miniatur.Muadz berharap, usaha Werkudara semakin kuat dan tidak goyah, walau tertimpa krisis seperti krisis moneter 1997-1998. Ia mengatakan, saat krisis itu permintaan merosot tajam mencapai 50% lebih. "Saya lihat ada beberapa usaha wayang golek yang gulung tikar," kata Muadz.Di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang semakin membaik saat ini, Muadz akan fokus pada peningkatan jumlah konsumen. Oleh karena itu, ia berusaha membuat miniatur wayang golek dengan lebih kreatif dan inovatif.Selain memproduksi miniatur wayang golek, Muadz juga berencana membuat lampu, pajangan, dan pulpen dengan motif wayang golek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi