Muhammad Habibullah meniti sukses berkat kecanduan gim



KONTAN.CO.ID - Uang bulanan dari orangtua yang pas-pasan memaksa Muhammad Habibullah mencari duit tambahan buat biaya hidup selama kuliah dan kos di Bandung. Pilihan pria asal Bogor ini jatuh pada pembuatan kaus bertema gim dan gelang tali prusik.

Maklum, ketika itu dia maniak bermain gim daring. Karena itu, ia menawarkan produknya ke komunitas gim online bentukannya: P-Clothes. Kata P, Habibullah ambil dari nickname gim onlinenya, Purwa.

Lantaran sering order dalam jumlah banyak, bisa 100 potong per minggu, pemilik konveksi, tempatnya memproduksi kaus gim, menawarkan Habib, panggilan sehari-hari Muhammad Habibullah, untuk menjual kaus polos. Enggak tanggung-tanggung, si pemilik konveksi menantangnya untuk menjual 1.000 potong seminggu.


Tanpa pikir panjang, dia pun menerima tantangan itu. Sebab, dia enggak perlu keluar modal. Lalu, ia melihat, jarang ada distro di Bandung yang menjual kaus polos.

Terlebih, “Dari awal sebetulnya saya sudah bertujuan, yang beli bukan teman komunitas gim saja. Kalau yang beli hanya teman satu komunitas, kan, enggak maju-maju usaha saya,” kata lelaki kelahiran 30 Juni 1994 ini.

Karena itu, Habib memasarkan produknya ke komunitas lain dengan cara bergabung ke grup-grup yang ada di aplikasi percakapan instan Line. Hasilnya, 1.000 potong kaus polos ludes dalam seminggu.

Dengan mengibarkan bendera P-Clothes, bisnisnya menanjak. Bahkan, sejak awal 2017 dia punya rumah produksi sendiri, dengan jumlah karyawan 25 orang.

Sekarang saban minggu, ia memproduksi 6.000 potong kaus polos. Omzetnya Rp 300-an juta per bulan.

Sejak jualan kaus gim dan gelang prusik awal 2014, Habib menawarkan produknya melalui kanal daring. Begitu juga dengan kaus polos yang mulai bergulir Oktober 2014. Selain Line, dia membuka lapak di media sosial Facebook.

Pasca penjualan di pekan-pekan awal mendulang sukses, ia berani memasang iklan di akun Twitter infobandung yang punya banyak pengikut. Tarifnya saat itu sudah jutaan rupiah.

“Saya juga promosi di Line yang biayanya juga jutaan rupiah,” ungkap jebolan Manajemen Bisnis dan Teknologi Informasi Telkom University ini.

Tak heran, Habib berani jor-joran untuk pemasaran. Soalnya, keuntungan dari jualan kaus polos sangat lumayan.

Ia melepas tiga potong dengan harga Rp 100.000. Sedang harga dari konveksi Rp 25.000 per potong.

Itu berarti, dia mendekap untung Rp 25.000 untuk tiga potong kaus polos. Dengan penjualan 1.000 potong per minggu, setidaknya ia mengantongi laba Rp 8,325 juta.

Meski begitu, Habib tidak sia-sia mengeluarkan banyak uang untuk memasang iklan. “Saya merasakan kenaikan penjualan dengan iklan online,” ujarnya yang sudah tidak menerima order kaus gim dan gelang prusik sejak jualan kaus polos.

Selain beriklan, dia juga menggunakan jasa endorse teman-teman di Bandung, yang akun media sosialnya punya banyak pengikut, untuk mempromosikan kaus polos endorse. Tapi sebagai imbalan, ia hanya memberi kaus gratis.

Selama tiga bulan awal, Habib menjalani bisnisnya seorang diri. Dia sendiri yang mengemas dan mengantarkan pesanan ke gerai jasa pengiriman.

Baru di awal 2015, ia mempekerjakan dua orang untuk mengurus order dan pengemasan. “Saya masih menjalankan usaha di kos, dengan menyewa tiga kamar. Satu buat kerja, satu buat gudang, dan satu lagi buat saya tidur,” bebernya.

Cuma, lantaran setahun pertama fokus membesarkan P-Clothes, kuliahnya pun telantar. Banyak nilai mata kuliah yang jeblok sehingga Habib harus mengulang. Ia pun telat lulus satu tahun dari kebanyakan teman-teman seangkatan.

Nyaris kolaps

Namun, badai sempat menghantam bisnisnya bahkan nyaris kolaps. Pangkalnya: pertengahan 2016, pemilik konveksi yang memasok kaus polos membuka gerai sendiri setelah melihat usaha Habis sukses.

Dampaknya, pengiriman kaus polos pesanan Habib sering telat. Sudah begitu, kalau pun pesanan akhirnya datang, kerap salah warna.

“Konveksi yang support saya selama ini ternyata dia juga yang menghancurkan saya,” sebutnya. Padahal di tahun itu, ia baru saja membuka lapak di marketplace Shopee, Tokopedia, Bukalapak.

Karena pesanan yang masuk terus mengalir, mau tidak mau, ia mencari konveksi pengganti. Tetapi, untuk bahan kaus, Habib yang menyediakan. Jadi, kongsi dengan konveksi hanya jasa alias makloon jahit.

Masalah muncul lagi di akhir 2016, konveksi tersebut gulung tikar sekalipun order dari Habib masih mengalir. “Di sinilah saya merasa di persimpangan, mau lanjut atau tidak. Tapi, saya putuskan untuk bangkit lagi. Saya banyak ngobrol dengan teman sesama pengusaha, supaya mental saya kuat dan bisa berpikir jernih,” tutur dia.

Salah satu teman sesama pengusaha adalah pendiri Mybamus yang memproduksi busana muslimah. “Saya bikin konveksi juga dapat semangat dari owner Mybamus. Dia bilang, ayo buka konveksi sendiri, pasti bisa, kok,” ujarnya.

Alhasil, Habib memutuskan membangun konveksi sendiri, meski itu tidak mudah. “Saya belajar dari A sampai Z proses pembuatan kaus seperti apa. Awal bikin, tuh, saya pusing banget, stres. Kalau dulu terima beres saja,” katanya yang baru tahu proses pembuatan kaos ada lebih dari lima tahap.

Untuk merintis rumah produksi, ia merogoh kocek sekitar Rp 100 juta. Hanya, beberapa bulan kemudian, dia merekrut seseorang yang paham banget soal dunia konveksi. “Dia menjadi semacam GM (general manager) begitu,” jelasnya.

Tambah produk

Bisnis P-Clothes pun kembali berkibar, malah semakin masyhur. Sebenarnya, potensi pesanan yang masuk bisa lebih dari 6.000 potong per minggu.

“Tapi, saya belum sanggup produksi lebih banyak dari itu,” tegas Habib yang melayani pembelian ritel maupun grosir.

Sukses ini tentu juga berkat kualitas kaus polos buatannya yang selevel dengan merek-merek besar tapi harga jual lebih murah. Tambah lagi, pilihan warnanya juga banyak.

Tahun lalu, Habib juga merambah ke pembuatan jaket dan baju muslim. Ini sejalan dengan Logo P-Clothes yang berasal dari enam elemen: tanah, air, api, matahari, bulan, dan udara. “Jadi, saya ingin P-Clothes memenuhi kebutuhan manusia,” jelasnya.

Tapi, lagi-lagi masalah datang. Tahun lalu, polisi menggerebek tempat pencelupan bahan yang merupakan mitra P-Clothes.

Akibatnya, bahan milik Habib senilai Rp 600 jutaan tidak bisa keluar. “Mereka langsung buang limbah ke kali. Ya, saya mau bagaimana lagi, pasrah saja,” imbuh dia.

Biar produksi tetap jalan, ia pun membeli bahan baru, tapi mencicil tidak langsung puluhan rol seperti sebelumnya. “Saya mulai dari nol lagi. Saya cari tukang bahan lagi, celup warna lagi,” bebernya.

Sebetulnya, selain konveksi, Habib punya bisnis lain, yakni sewa mobil (P-RenCar), sewa kamera (P-Cam), dan media iklan kampus. “Saya sempat ketemu Pak Budi Satria Isman, mantan Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia dan Presiden Direktur Sarihusada, saya disuruh fokus,” katanya.

Akhirnya, dia melepas P-RenCar ke salah satu teman kampusnya. Sebagai imbalannya, sampai sekarang ia mendapat fee dari setiap mobil yang disewa. Begitu juga dengan P-Cam, ia serahkan ke teman lain yang masih satu kampus.

Sementara pengelolaan media iklan kampus, Habib percayakan kepada mahasiswa Telkom University. “Kan, lumayan mereka bisa mendapat sejuta dua juta,” tambah dia.

Saat ini, ia benar-benar fokus mengembangkan P-Clothes. Rencana tahun ini ialah, mengontrak bangunan yang ada di depan rumah produksi untuk gudang. Terus, meningkatkan status usahanya dari comanditaire venootschap (CV) jadi perseroan terbatas (PT).

Toh, Habib tidak ingin mendongkrak kelas usahanya menjadi garmen. “Saya kembangkan bisnis, kan, ingin santai sebetulnya, enggak terlalu rusuh dan terlalu santai juga. Tujuan bisnis saya, supaya banyak waktu luang. Tapi saya juga ingin tetap berkelanjutan,” ujarnya.

Yang jelas, uang bulanan sudah tidak pas-pasan lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan