JAKARTA. Kondisi utang luar negeri (ULN) khususnya milik swasta yang semakin meningkat menjadi sorotan. Nah, demi menekan pinjaman luar negeri tersebut, pemerintah akan segera membatasi rasio utang terhadap modal perusahaan alias
Debt to Equity Ratio (DER). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, beleid tersebut akan diterapkan mulai 1 Januari 2016 mendatang. Sementara itu, berdasarkan hasil kajian kementeriannya, aturan DER alias utang berdasarkan modal yang akan diterapkan nantinya mengarah pada rasio 4:1. "Jadi 80% utang dan 20% modal. Memang belum ideal namun lebih baik kami melakukan sesuatu," kata Bambang, Rabu (13/5). Bambang mencontohkan, jika utang perusahaan di atas 80% dari
equity (modal), kelebihannya tidak bisa dihitung sebagai pengurang pajak. Adapun utang yang dimaksud adalah seluruh utang perusahaan, baik ULN mau utang dalam negeri.
Kendati demikian, aturan DER ini tidak berlaku untuk seluruh sektor perusahaan. Sektor perbankan dan sektor pertambangan mendapatkan pengecualian dari kebijakan ini. Alasannya, sektor perbankan, rasio utang terhadap modalnya telah diatur dalam peraturan perbankan. Sementara untuk sektor pertambangan, telah diatur dalam kontrak karya (KK). Sebagai informasi, hingga Februari lalu ULN swasta tercatat sebesar US$ 164,13 miliar, atau tumbuh 13,8% bila dibandingkan dengan Februari 2014 yang sebesar US$ 144,23 miliar. Pertumbuhan utang swasta pada Februari lalu menurun ketimbang pertumbuhan tahunan di bulan sebelumnya yang 14,4%. Namun bila dilihat secara bulanan, ada pertumbuhan tipis sebesar 0,26% dari Januari US$ 163,71 miliar. Sebagai gambaran, total ULN Indonesia per Februari 2015 tercatat sebesar US$ 299,89 miliar. Nilai tersebut naik 9,4% dari posisi Februari 2014. Jika DER ini diterapkan, pemerintah berharap ULN dapat ditekan. Selain menekan utang, kebijakan ini dapat memperkuat modal perusahaan. Sebelumnya, aturan DER pernah dikeluarkan pemerintah sekitar tahun 2000 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Waktu itu aturan DER alias rasio utang terhadap modalnya adalah 3:1. Artinya utang swasta hanya boleh tiga kali dari modal. Sayangnya, aturan tersebut hanya bertahan seminggu karena menuai protes dari berbagai kalangan pengusaha. Akibatnya, tanpa batasan utang, saat ini rasio utang perusahaan terhadap modal sudah tidak rasional. Ada perusahaan berutang dengan rasio 10:1, terutama perusahaan berstatus PMA. Pengusaha mendukung Tapi kini dunia usaha menyambut baik rencana pemerintah ini. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P Roeslani mengatakan, kebijakan ini dapat menyehatkan modal perusahaan. Keuntungan lainnya, aturan ini memudahkan pemerintah menjaring penerimaan pajak. Sebab perusahaan yang memiliki utang besar, kini utang itu tidak dapat lagi menjadi pengurang pajak. "Penerimaan penting, tetapi kesehatan perusahaan juga lebih penting," imbuhnya. Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menjelaskan, peraturan DER ini sebenarnya sudah ditunggu lama karena berguna membatasi utang swasta yang terus meningkat dan dapat menurunkan kestabilan ekonomi. Selama ini, pemerintah tidak membatasi utang swasta lantaran aturan devisa bebas melarang pemerintah membatasi swasta dalam mencari pendanaan.
Selama ini, pemilik utang banyak, mendapat insentif pajak. "Utangnya buat keringanan pajak. Sekarang yang utangnya wajar saja, kalau yang melebihi ketentuan, akan kena pajak," terangnya Lana berharap, pemerintah mengkaitkan aturan ini dengan kebijakan lindung nilai (
hedging) perusahaan. Ia mengusulkan agar pemerintah membuat aturan DER secara progresif. Misalnya, perusahaan yang melakukan
hedging maksimal DER-nya 80%. Sementara itu, yang tidak melakukan
hedging maksimal DER-nya 60%. "Ini untuk memberikan insentif bagi yang melakukan
hedging dan mendorong perusahaan
hedging," terangnya. Saat ini jumlah perusahaan yang melakukan lindung nilai masih mini. Gubernur BI Agus Martowardojo, pertengahan April (17/4) lalu menyebutkan, hanya 26% perusahaan yang memiliki utang luar negeri telah melakukan
hedging. Sisanya sebesar 74% belum melakukan
hedging. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie